1. PENDAHULUAN
Rongga mulut merupakan tempat berkembang biaknya berbagai macam mikroorganisme. Mikroorganisme yang secara normal ada dalam rongga mulut ini dapat mengakibatkan infeksi apabila, (1) sifat mikroorganisme tersebut berubah, baik kualitas maupun kuantitasnya, (2) mukosa mulut dan pulpa gigi terpenetrasi, (3) sistem kekebalan tubuh dan pertahanan seluler terganggu, atau kombinasi dari hal-hal tersebut diatas (Pedersen, 1996:191).
Infeksi merupakan suatu proses yang melibatkan proliferasi mikroorganisme yang menimbulkan reaksi pertahanan tubuh, yaitu suatu proses yang disebut inflamasi. Inflamasi adalah reaksi vaskular yang hasilnya merupakan
pengiriman cairan, zat-zat terlarut dan sel-sel darah dari darah yang
bersirkulasi kedalam jaringan interstitial pada daerah yang cedera atau yang
mengalami nekrotik. Inflamasi akut adalah reaksi segera dari tubuh terhadap
cedera atau kematian sel. Tanda tanda pokok peradangan adalah dolor (rasa
sakit), rubor (merah), calor (panas), tumor (pembengkakan) dan fungsio laesa
(perubahan fungsi) (Fragiskos, 2007:205).
2. INFEKSI ODONTOGEN
Infeksi yang bermanifestasi di daerah orofasial mayoritas (90-95%) adalah infeksi odontogen (Fragiskos, 2007:205).
2.1 Etiologi
Infeksi odontogen adalah infeksi yang bersifat polimikrobial yang disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut, yaitu bakteri dalam plak, dalam sulkus gingival, dan mukosa mulut. Etiologi tersering adalah bakteri kokus aerob gram positif (Streptococcus), kokus anaerob gram positif (Peptostreptococcus, Peptococcus), dan batang anaerob gram negatif (Bacteroides, Fusobacterium). Bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan periodontitis. Jika bakteri mencapai jaringan yang lebih dalam melalui nekrosis pulpa dan poket periodontal dalam, maka akan terjadi infeksi odontogen (Pedersen, 1996 :192 dan Lopez-Piris dkk., 2007:E155).
2.2 Penyebaran Infeksi
Infeksi dapat menyebar dari fokus infeksi melalui tiga cara yaitu; (1) secara perkontinyuatum melalui spasia-spasia; (2) melalui sistem limfatik; dan (3) melalui sirkulasi darah. Rute paling umum penyebaran infeksi adalah melalui spasia-spasia (Fragiskos, 2007:207).
Pada tahap seluler, tergantung pada perjalanan dan tempat inokulasi pus, abses dentoalveolar akut bisa mempunyai bermacam-macam gambaran klinis. Pada awal fase seluler ditandai dengan akumulasi pus di tulang alveolar yang dinamakan intraalveoler abses. Pus akan menyebar keluar setelah menembus tulang menyebar ke spasia periosteal dimana terdapat akumulasi pus antara tulang dan periosteum. Setelah menempus periosteum pus akan menyebar ke berbagai macam arah tergantung pada; (1) posisi gigi dalam lengkung; (2) ketebalan tulang; (3) jarak tempuh. Panjang akar hubungannya dengan apeks dan perlekatan berbagai otot juga berperan penting dalam penyebaran pus (Fragiskos,200:208).
Pada rahang atas jika tempat perforasi pus pada akar palatal gigi posterior atas dan gigi insisivus kedua, pus biasanya akan menyebar ke arah palatal. Inflamasi terkadang menyebar sampai sinus maxilaris yang terjadi ketika ujung akar gigi posterior berada didalam atau dekat dasar antrum (Fragiskos, 2007: 208). Pada rahang atas perlekatan muskulus bucinnator sangat penting. Ketika ujung akar premolar dan molar berada dibawah perlekatan otot buccinator, pus akan menyebar secara intraoral,dan jika ujung akar berada diatas perlekatan maka infeksi menyebar keatas dan secara ekstraoral (Fragiskos, 2007:208). Selain itu penyebaran infeksi yang timbul di regio maksiler biasanya melibatkan fossa kaninus dan regio periorbital.
Pada rahang bawah, infeksi dari insisif dan kaninus menyebar secara bukal atau pun lingual tergantung ketebalan tulang alveolar pada daerah tersebut. Biasanya pus akan terlokalisir kearah bukal jika ujung akar berada diatas perlekatan muskulus mental, walaupun terkadang pus menyebar secara ekstraoral ketika ujung akar berada dibawah perlekatan muskulus tersebut. Jika keluarnya pus dari akar yang berada diatas otot mylohyoid akan menyebar secar intraoral di spasia sublingual. Sedangkan pada gigi molar dan premolar jika ujung akar tempat pus keluar berada dibawah perlekatan otot buccinator maka pus akan menyebar kearah bukal atau secara ekstraoral dan jika ujung akar berada diatas perlekatan maka infeksi menyebar secara intraoral. Jika ujung akar berada dibawah otot mylohyoid (untuk molar satu dan dua) maka pus akan menyebar ke spasia submandibular yang berakibat manifestasi ekstraoral (Fragiskos, 2007: 207-208).
Gambar 1. Arah penyebaran infeksi odontogen
3. ABSES FOSSA KANINUS
3.1 Anatomi
Fossa kaninus adalah spasia kecil diantara otot levator labii superior dan levator anguli oris (Fragiskos, 2007:220). Abses ini merupakan perluasan infeksi yang berasal dari gigi kaninus atas atau kadang-kadang dari gigi premolar dan insisif. Dalam pengertian klinis cukup penting karena berhubungan dengan sinus cavernosus melalui vena-vena fasialis, angularis, dan opthalmika (Pederson, 1996: 197).
Gambar 2. Lingkaran putih menunjukkan daerah fossa kaninus
3.2 Gambaran klinis
Suatu abses adalah infeksi akut yang terlokalisir dan manifestasinya berupa keradangan, pembengkakan yang nyeri jika ditekan atau kerusakan jaringan setempat (Pedersen, 1996:203). Abses ini menunjukkan adanya edeme yang terlokalisir pada daerah infraorbital yang menyebar ke medial kantong mata, kelopak mata bawah, dan sisi tepi hidung sepanjang sudut mulut. Telihat juga hilangnya lipatan nasolabial dan terkadang lipatan mukobukal. Edema pada daerah infraorbital terasa sakit saat dilakukan palpasi dan kemudian kulit menjadi tegang dan mengkilat karena supurasi, sementara warna terlihat kemerahan (Fragiskos, 2007:222).
Gambar 3. Foto klinis penderita abses fossa kaninus
3.3 Penatalaksanaan
Perawatan abses odontogenik akut dapat dilakukan secara lokal atau sistemik. Perawatan lokal meliputi irigasi, aspirasi, insisi dan drainase, sedangkan perawatan sistemik terdiri atas pengobatan untuk menghilangklan rasa sakit, terapi antibiotik dan terapi pendukung (Pederson, 1996:203).
Insisi untuk drainase dilakukan secara intraoral pada lipatan mukobukal (paralel dengan tulang alveolar) pada regio kaninus (Gambar 4b). Anastesi dilakukan ekstraoral didekat foramen infraorbital (Gambar 4a) (Sailer dan Pajarola, 1999: 155). Suatu hemostat kemudian dimasukkan sedalam mungkin pada akumulasi pus sampai bersentuhan dengan tulang (Gambar 4c). Sementara itu jari telunjuk pada tangan satunya melakukan palpasi di margin infraorbital. Akhirnya suatu rubber drain ditempatkan dan dijahit pada mukusa untuk menstabilkannya (Gambar 4d) (Fragiskos, 2007: 222).
Gambar 4(a,b,c,d). Rangkaian insisi dan drainase pasien abses fossa kaninus
Apabila memungkinkan sebaiknya pemilihan obat didasarkan pada hasil smear atau pewarnaan garam, kultur dan tes sensitivitas. Antibiotik yang dipilih diresepkan dengan dosis yang adekuat dan jangka waktu yang memadai (Pedersen, 1996:198).
Penisilin adalah antibiotik yang paling sering digunakan pada infeksi odontogen, baik yang alami maupun semisintesis. Antibiotik ini mempunyai aktifitas bakteriosid yang luas dan bekerja dengan cara mengganggu pembentukan dan keutuhan dinding sel bakteri (Pederson,1996: 198).
Radiasi dan indurasi yang sangat sakit pada sudut medial orbital mengindikasikan adanya kemungkinana infeksi melaui vena angular. Infeksi ini dapat menyebar melalui vena ini menuju sinus cavernosus (Sailer dan Pajarola,1999: 155).
4. TROMBOSIS SINUS CAVERNOSUS
Anatomi sinus cavernosus berada di tulang sphenoideus. Setiap vena sinus cavernosus berhubungan dengan sinus cavernosus di sisi wajah yang lain, pleksus pterigoideus, vena superior ophtalmikus yang beranastomosis dengan vena fasialis (Gambar 5) (Fehrenbach dan Henring, 1997:16).
Gambar 5. Jalur vena fasialis dan letak sinus cavernosus
Infeksi pada abses fossa kaninus jika tidak dilakukan perawatan dapat mengakibatkan penyebaran infeksi ke sinus cavernosus. Hal ini meningkatkan kemungkinan masuknya organisme dan toksin dari daerah yang terinfeksi ke dalam sirkulasi darah. Di lain pihak, infeksi dan inflamasi pada fossa kaninus juga akan semakin meningkatkan aliran darah yang selanjutnya menyebabkan semakin banyaknya organisme dan toksin masuk ke dalam pembuluh darah. Vena-vena fasialis anterior yang terinfeksi berhubungan dengan sinus kavernosus melalui pleksus vena ophtalmikus. Karena perubahan tekanan dan edema menyebabkan penyempitan pembuluh vena dan karena vena pada daerah ini tidak berkatup, maka aliran darah di dalamnya dapat berlangsung dua arah yang memungkinkan penyebaran infeksi langsung dari fokus infeksi di dalam mulut ke kepala atau faring sebelum tubuh mampu membentuk respon perlawanan terhadap infeksi tersebut (Odel, 2005:197 dan Fehrenbach dan Henring, 1997:16).
Tanda dan gejala yang dirasakan oleh penderita trombosis sinus cavernosus adalah rasa sakit okular. Edeme periorbital dan konjungtiva, bola mata menonjol, pembengkakan kornea, dan perdarahan retina. Keterlibatan syaraf-syaraf kranial: n. Opthtalmikus, n. Troclearis, dan abducens akan mengakibatkan paralisis, dilatasi pupil dan hilangnya reflek kornea. Demam dengan fluktuasi tinggi, gemetar, dengan denyut nadi cepat dan berkeringat. Sakit kepala, demam, leher terasa kaku , muntah, kejang-kejang konfulsi, menurunnya kesadaran hingga koma (Pedersen, 1996:217-218).
Gambar 6. Foto klinis penderita trombosis sinus cavernosus
Terapi utama trombosis sinus cavernosus adalah pemberian antibiotik secara agresif. Terapi antibiotik idealnya dimulai setelah dilakukan kultur, namun antibiotik harus segera diberikan sambil menunggu hasil dari pemeriksaan spesimen. Antibiotik yang dipilih sebaiknya berspektrum luas, utamanya yang aktif melawan Staphylococcus aureus dan mampu mencapai level tinggi di cairan cerebrospinal. Antibiotik yang dipilih bisa penisilin-anti penisilinase dan generasi ketiga atau keempat dari cephalosporin. Pemberian antibiotik dilakukan secara intravena minimal 3-4 minggu (Sharma dan Bessman, 2009 dan Pedersen, 1996:218).
Penggunaan antikoagulan pada kondisi ini masih menjadi kontroversi, karena kejadian sindrom ini jarang dan tidak ada percobaan prospektif yang telah dilakukan dalam penggunaan antikoagulan. Meskipun demikian, penggunaan antikoagulan dengan heparin dapat dipertimbangkan jika tujuan nya adalah untuk mencegah berlanjutnya trombosis dan mengurangi kejadian emboli septik (Sharma dan Bessman, 2009).
Tindakan bedah pada sinus cavernosus secara teknis sulit dan tidak terlihat membantu. Yang terpenting pada terapi lokal adalah menghilangkan penyebab utama infeksi, jika dalam kasus ini trombosis sinus cavernosus terjadi sebagai penyebaran lebih lanjut dari infeksi di fossa kaninus, maka pelaksanaan insisi dan drainase di fossa kaninus sebaiknya dilakukan (Sharma dan Bessman, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Fehrenbach, M.J. dan Herring, S.W. 1997. Spread of Dental Infection. The Journal of Practical Hygiene September/Oktober 1997.
Fragiskos, F.D. 2007. Oral Surgery. Heidelberg : Springer.
Lopez-Piriz, R., dkk.2007. Management of Odontogenic Infection of Pulpal and Periodontal Origin. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2007;12:E154-9.
Odell, E.W.2005.Clinical Problem Solving in Dentistry. Philadelphia:Elsevier.
Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih Bahasa : Purwanti dan Basoeseno.” Oral Surgery 1st ed”. Jakarta : EGC.
Sailer, H.F. dan Parajola, G.F.1999.Oral Surgery for General Dentist. New York :Thieme.
Sharma, R. Dan Bessman, E. 2009. Cavernous Sinus Thrombosis: Treatment & Medication. http://emedicine.medscape.com/article/791704-treatment [17 Januari 2010].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar