a. Gigi tiruan cekat (gigi tiruan jembatan)
Gigi tiruan ini dilekatkan di dalam mulut secara permanen dengan semen khusus dan lebih sering disebut sebagai jembatan. Gigi tiruan ini terdiri dari pontik, yaitu pengganti gigi yang hilang serta penyangga. Penyangga gigi tiruan ini menggunakan gigi asli disebelahnya yang masih ada yang disebut Abuntment, dengan cara mengurangi gigi asli tersebut dengan bentuk seperti untuk membuat mahkota atau jaket (ekstrakoronal) atau intarakoronal. Kemudian mahkota untuk gigi penyangga disambungkan pada gigi yang diganti dengan konektor (Shillingburg, dkk., 1997:1).
Gambar 1. Gigi Tiruan Jembatan
b. Gigi tiruan sebagian lepasan
Gigi tiruan lepasan ini mudah dipasang dan dilepas oleh pasien. Gigi tiruan sebagian biasanya terdiri dari elemen, basis dan konektor. Elemen gigi tiruan adalah elemen yang dibuat untuk menggantikan gigi asli yang hilang. Yang dimaksud dengan basis atau sadel adalah bagian protesa yang berhadapan dengan jaringan lunak mulut bawahnya. Selain berfungsi untuk memperbaiki kontur jaringan sehingga kemebali seperti asalanya basis juga merupakan tempat bagi elemen gigi tiruan dan menerima dukungan dari gigi pendukung dan atau jaringan sisa tulang alveolar.
Penahan (retainer) adalah bagian dalam gigi tiruan, baik yang berbentuk cengkeram (clasp) maupun kaitan (attachment) maupun alat-alat lain yang digunakan untuk mendapatkan stabilitas atau fiksasi dari gigi tiruan. Semua bagian gigi tiruan ini digabungkan mnejadi satu kesatuan oleh suatu konektor (Suryatenggara dkk., 1991:15-17).
- Gigi tiruan akrilik
Gigi tiruan akrilik merupakan gigi tiruan yang paling sering dan umum dibuat pada saat ini. Bahan akrilik manipulasinya mudah, murah, ringan dan bisa dibuat berwarna sesuai dengan gigi asli dan gingiva. Akrilik mudah menyerap cairan dan juga mudah kehilangan komponen airnya. Akrilik mudah terpengaruh perubahan warna, seperti warna makanan atau minuman. Akrilik juga mudah mengalami keausan, sehingga dengan pemakaian normal pun, dalam beberapa tahun gigi tiruan jenis ini harus diganti (Rikmasari, 2009).
Gambar 2. Gigi Tiruan Akrilik
- Gigi tiruan kerangka logam
Gigi tiruan ini terdiri dari basis gigi tiruan dari logam sedang elemennya dari akrilik atau porselen. Karena bahan logam cukup kuat, basis gigi tiruan kerangka logam dapat dibuat lebih tipis dan lebih kecil sehingga pemakai akan lebih nyaman. Kontak lidah dengan langit-langit tidak terlalu terganggu. Basis yang terbuat dari logam ini, tidak terganggu oleh keadaan cairan atau makanan di dalam rongga mulut, yang terpengaruh hanya bagian gigi tiruannya (elemen) (Rikmasari, 2009).
- Gigi tiruan porselen
Untuk mengurangi keausan akrilik ini maka gigi tiruan lepasan dapat dikombinasi dengan porselen. Landasan gigi tiruan dengan akrilik dan anasir dapat digunakan bahan porselen.
- Gigi tiruan valplast
Valplast adalah nylon thermoplastic yang lebih tipis dan lebih translusen dari pada akrilik. Penggunaan vaslplast tidak memerlukan logam atau kawat retensi dan tetap kuat seta fleksibel. Gigi tiruan ini tidak dianjurkan untuk kasus free end saddle karena sifatnya tidak stabil. Selain itu untuk pasien dengan kebersihan mulut yang buruk penggunaan valplast akan akan meyebabkan valplast berubah warna
Gambar 3. Gigi Tiruan valplast
c. Gigi tiruan resin bonded
Gigi tiruan jenis ini diperkenalkan oleh Rochette sebagi alternatif dari gigi tiruan cekat sebelumnya. Teknik ini menawarkan metode yang lebih konservatif dengan preparasi gigi penyangga terbatas hanya pada sisi lingual. Dengan teknik ini keinginan untuk mempertahankan sebanyak mungkin jaringan yang sehat bisa tercapai . Keuntungan yang lain dari teknik ini adalah waktu perawatan yang leibih singkat. Gigi tiruan ini pada regio posterior tidak diindikasikan bila mahkota klinis gigi pendek dan hubungan oklusal gigi tidak menguntungkan (Hebel dkk, 2000).
Gigi tiruan ini menggunakan prinsip ikatan resin pada enmel. Resin komposit dapat melekat erat pada enamel yang telah mengalami pengetsaan dengan cairan asam fosfat. Enamel yang telah dietsa akan mengalami dekalsifikasi terbatas yang menyebabkan terjadinya pori-pori dalam lapisan enamel. Pori-pori ini akan dimasuki resin komposit yang terikat secara mekanik membentuk resin tag.
Prinsip pautan antara enamel dan resin komposit tersebut telah dimanfaatkan dalam perawatan jembatan untuk melekatkan jembatan pada enamel. Karena enamel merupakan unsur penting maka dalam preparasi gigi penyangga harus terdapat sisa email yang cukup untuk memegang resin kompositnya (Prajitno, 1994 : 147-148).
Gambar 4. Gigi tiruan resin bonded
d. Implan
Implan adalah sekrup dari logam titanium yang ditempatkan langsung didalam tulang pada area gigi yang hilang. Saat impant menyatu dengan tulang maka akan berfungsi sebagai akar dari gigi yang hilang tersebut. Mahkota kemudian dapat dibuat untuk disesuaikan dengan implan. Terdapat dua hal penting selain kesehatan umum pasien saat pemilihan implan sebagai tindakan perawatan. Pertama apakah terdapat cukup tulang untuk tempat implan dan kedua apakah akar gigi disampingnya mempunyai kemiringan kearah dimana implan akan ditempatkan (Gray, 2009).
Teknologi ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu, (1) gigi yang tersisa bisa tetap sehat karena tidak memerlukan preparasi pada gigi; (2) secara psikologi pasien akan merasa puas; (3) menurunkan resiko gigi berlubang; (4) menurunkan resiko gigi mengalami kerusakan endodontik; (5) meningkatkan kesehatan gigi; (6) menurunkan resiko sensitivitas gigi; (7) meningkatkan estetis gigi; (8) mempertahankan tulang pada daerah edentulous (Misch, 1999:87).
Gambar 5. Implan
DAFTAR PUSTAKA
Anusavice, K.J. 2004. Phillips:Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi. Jakarta : EGC.
El-Mowafy, O. 2008. Gingival Response to Crowns: A Counterpoint. JCDA November 2008, Vol. 74, No. 9
Gray, B.J. 2009. Treatment Alternatives for a Single Missing Front Tooth. http://www.smiledc.com/articles/Cosmetic. [12 desember 2009]
Gunadi, A.H., dkk., 1995. Ilmu Geligi Tiruan Sebagian Lepasan jilid II. Jakarta: Hipokrates.
Hebel, K., dkk. 2000. Single-Tooth Replacement: Bridge vs. Implant-Supported Restoration. J Can Dent Assoc 2000; 66:435-8.
Indriyanti, R. 2009. Mahkota Baja Nirkarat (Stainless Steel Crown) pada Gigi Sulung; Tinjauan Korosi dan Inflamasi. http://pustaka.unpad.ac.id/archives/24731/.[16 Desember 2009]
Li, W., dkk. 2004. Fibre reinforced composite dental bridge Part I: experimental investigation. Biomaterials 25 (2004) 4987–4993.
Misch, C. E. 1999. Endosteal Implants for Posterior Single Tooth Replacement: Alternatives, Indications, Contraindications, and Limitations. Journal of Oral Implantology. Vol. XXV/No. Two/1999.
Prajitno, H.R. 1994. Ilmu Geligi Tiruan Jembatan:pengetahuan dasar dan rancangan pembuatan. Jakarta : EGC.
Rikmasari, R. 2009. Pilih Gigi Palsu Sesuai Kondisi Anda. http://www.pdgi-online.com/v2/index.php. [12 desember 2009].
Rosenstiel dkk. 2001.Contemporary Fixed Prosthodontics 3rd ed. Missouri: Mosby :95
Shillingburg, H.T., dkk. 1997.Fundamentals of fixed prosthodontics 3rd ed. Illinois : Quintessence Publishing.
Strassler,H.E., dkk. 2009. Fiber Reinforcement for One-Visit Single-Tooth Replacement. www.dentistrytoday.net/ME2/dirmod.asp.[12 desember 2009]
Suryatenggara, F., dkk., 1991. Ilmu Geligi Tiruan Sebagian Lepasan jilid I. Jakarta : Hipokrates.
Jumat, 10 Juni 2011
Kamis, 09 Juni 2011
ANESTESI LOKAL DI RONGGA MULUT
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perawatan gigi dan mulut adalah suatu bagian yang penting dalam proses menjaga kesehatan anak sejak dini. Perawatan yang diberikan dokter gigi harus mempertimbangkan perasaan yang dimiliki anak. Dokter gigi harus mampu membangun kepercayaan dan kerjasama dari anak. Perawatan yang simpatik dan baik mempertimbangkan tidak hanya perawatan yang dilakukan sekarang tetapi juga mengusahakan masa depan kesehatan gigi dan mulut anak dengan membentuk sikap positif anak terhadap perawatan gigi yang diberikan (Andlaw dan Rock, 1992:3).
Perawatan gigi yang diberikan kepada anak sering memerlukan tindakan yang menimbulkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pada anak. Pengendalian rasa sakit menjadi bagian integral dari kedokteran gigi modern. Pada kedokteran gigi anak, hal ini menjadi bagian penting dalam membentuk perilaku anak dan membantu menciptakan penerimanan yang sifatnya positif dari orang tua terhadap perawatan gigi dan mulut (Nayak dan Sudha, 2006). Pengendalian rasa sakit ini tidak hanya menguntungkan bagi pasien, tetapi juga bagi dokter gigi. Hal ini terjadi karena ketenangan pasien akan memudahkan dokter gigi dalam melakukan perawatan dengan tenang dan nyaman sesuai prosedur yang seharusnya.
Injeksi jarum pada lokal anestesi merupakan hal yang paling sering dilakukan saat ini untuk mengendalikan rasa sakit ketika melakukan perawatan gigi. Sangat ironis bila pengendali rasa sakit melalui injeksi malah menjadi sumber dari ketakutan dan kegelisahan pada pasien anak-anak. Hal ini mendorong dokter gigi anak melakukan penelitian untuk mendapatkan alat atau bahan yang menimbulkan rasa tidak sakit ketika tindakan anestesti lokal dilakukan. Anestesi topikal kemudian muncul dalam percobaan mereka (Nayak dan Sudha, 2006).
Saat ini berbagai macam bahan tersedia untuk anestesi topikal. Lignocaine merupakan standar yang sering digunakan, benzocaine juga terkenal sebagai bahan anestesi permukaan yang baik. EMLA (Eutectic Mixture of Local Anesthetics) diperkenalkan sebagai salah satu anestesi kulit pada tahun 1980an. Penelitian terakhir pada penggunaan EMLA untuk aplikasi mukosa dilakukan oleh Holst dan Evers. Berawal dari penelitian ini kemudian beberapa penelitian dilakukan yang melaporkan penggunaan obat ini di mukosa dengan hasil yang berlawanan (Nayak dan Sudha, 2006:155) .
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anestesi Lokal
2.1.1 Pengertian Anestesi Lokal
Anestesi lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade lorong natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestesi lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf (Latief dkk, 2002:97).
2.1.2 Struktur Kimia Anestesi Lokal
Anestesi lokal ialah gabungan dari garam larut dalam air (hidrofilik) dan alkaloid larut dalam lemak (lipofilik). Bahan anestesi terdiri dari bagian kepala cincin aromatik tak jenuh bersifat lipofilik, bagian badan sebagai penghubung terdiri dari cincin hidrokarbon dan bagian ekor terdiri dari amino tersier bersifat hidrofilik (Latief dkk, 2002:97).
Bagian lipofilik biasanya terdiri dari cincin aromatic (benzene ring) tak jenuh, misalnya PABA (para-amino-benzoic acid). Bagian ini sangat esensial untuk aktifitas anestesi. Bagian hidrofilik Biasanya golongan amino tersier (dietil-amin) (Latief dkk, 2002:97).
Gambar 1. Struktur kimia anestesi lokal
2.1.3. Penggolongan Anestesi Lokal
Anesteti lokal dibagi menjadi dua golongan
a. Golongan ester (-COOC-)
Kokain, benzokain (amerikain), ametocaine, prokain (nevocaine), tetrakain (pontocaine), kloroprokain (nesacaine).
b. Golongan amida (-NHCO-)
Lidokain (xylocaine, lignocaine), mepivakain (carbocaine), prilokain (citanest).bupivakain (marcaine), etidokain (duranest), dibukain (nupercaine), ropivakain (naropin), levobupivacaine (chirocaine).
(Latief dkk, 2002:98)
Gambar 2. Struktur kimia tiap golongan anestesi lokal
2.1.4 Mekanisme Kerja Anestesi lokal
Anestese lokal bekerja pada reseptor spesifik di saluran natrium (sodium channel). Hal ini mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tidak terjadi konduksi saraf (Latief dkk, 2002:99).
Mekanisme utama aksi anestetik lokal adalah memblokade voltage-gated sodium channels. Membran akson saraf, membran otot jantung, dan badan sel saraf memiliki potensial istirahat -90 hingga -60 mV. Selama eksitasi, lorong sodium terbuka, dan secara cepat berdepolarisasi hingga tercapai potensial equilibrium sodium (+40 mV). Akibat dari depolarisasi,, lorong sodium menutup (inaktif) dan lorong potassium terbuka. Aliran sebelah luar dari repolarisasi potassium mencapai potensial equilibrium potassium (kira-kira -95 mV). Repolarisasi mengembalikan lorong sodium ke fase istirahat.
Gradient ionic transmembran dipelihara oleh pompa sodium tersebut. Akibat turunnya laju depolarisasi, ambang kepekaan terhadap rangsangan listrik lambat Iaun meningkat, sehingga akhirnya terjadi kehilangan rasa setempat secara reversible.
(Sari, 2009).
Gambar 3. Ilustrasi mekanisme kerja anestesi lokal
2.2 Cara Pemberian Anestesi Lokal di Rongga Mulut
2.2.1. Anestesi Topikal
Anestesi topikal merupakan anestesi lokal yang dapat digunakan di permukaan kulit, selaput lendir atau selaput lainnya. Anestesi topikal dapat berupa salep, pasta,krim, gel, dan semprotan ( Boulton dan Blogg, 1994: 117).
2.2.2. Anestesi Infiltrasi
Cara ini juga disebut sebagai injeksi supraperiosteal, karena tempat injeksinya didalam jaringan dimana bahan anestesi dideponir dalam hubungannya dengan periosteum bukal dan labial. Bahan anestesi yang dideponir di atas periosteum setinggi apeks gigi akan mengalir ke dalam periosteum dan tulang melalui proses difusi. Bahan anestesi akan berpenetrasi ke dalam serabut syaraf yang masuk ke apeks gigi sehingga menginervasi alveolus dan membran periodontal. Dalam keadaan normal, akan terbentuk keadaan anestesia pada struktur-struktur tersebut (Purwanto, 1993:7).
Gambar 4. Titik injeksi pada anestesi infiltrasi
2.2.3. Anestesi Blok
Istilah blok berarti anestesi dideponir pada suatu titik diantara otak dan daerah yang dioperasi. Anestesi ini akan menembus batang saraf atau serabut syaraf pada titik tempat bahan anestesi dideponir sehingga memblok sensasi yang datang dari distal. Jenis anestesi ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu, daerah teranestesi yang luas bisa diperoleh hanya dengan sedikit titik suntikan, dan dapat menganestesi tempat-tempat yang merupakan kontraindikasi dari injeksi supraperiosteal (Purwanto, 1993:19).
Gambar 5. Anestesi blok mandibula
Terdapat dua cara dalam melakukan anestesi blok yaitu sebagai berikut ini.
a. Field blok
Field blok dilakukan dengan menyuntikkan bahan anestesi pada sekeliling lapangan operasi, sehingga menghambat semua cabang syaraf proksimal sebelum masuk kedaerah operasi.
b. Nerve blok
Nerve blok dilakukan dengan menyuntikkan bahan anestesi lokal langsung pada syaraf, sehingga menghambat jalannya rangsangan dari daerah operasi yang diinnervasinya.
(Humz, 2009)
2.2.4. Anestesi Intraligamen
Anestesi intraligamen dilakukan dengan injeksi yang diberikan di dalam periodontal ligamen. Injeksi ini menjadi populer setelah adanya syringe khusus untuk tujuan tersebut. Injeksi intraligamen dapat dilakukan dengan jarum dan syringe konvensional, tetapi lebih baik dengan syringe khusus, karena lebih mudah memberikan tekanan yang diperlukan untuk menginjeksikannya ke dalam ligamen periodontal (Andlaw dan Rock, 1990:75).
Jarum yang biasa digunakan adalah jarum dengan ukuran 30 gauge pendek atau sangat pendek, dan syringe dapat dipakai untuk larutan anestesi 1,8 atau 2,2 ml. Untuk mengurangi resiko kerusakan jaringan karena vasokonstriksi, dianjurkan untuk tidak menggunakan larutan yang mengandung adrenalin, karena tekanan pada larutan yang disuntikkan tersebut menghasilkan vasokontriksi dalam ligamen periodontal (Andlaw dan Rock, 1990:75).
Injeksi intraligamen mempunyai beberapa kelebihan dibanding metode konvensional. Injeksi ini biasanya lebih nyaman daripada injeksi blok nervus dental inferior atau injeksi palatal atau infiltrasi bukal pada premaksila . Analgesia diperoleh dengan sangat cepat dan jaringan lunak disekitarnya sedikit terpengaruh. Karena analgesia gigi rahang bawah dapat diperoleh melalui cara ini, ini merupakan salah satu pilihan injeksi yang berguana apabila harus menghindari injeksi blok pada nervus dental inferior ( Andlaw dan Rock, 1990:76).
Gambar 6. Anestesi intraligamen rahang bawah
2.2.5. Injeksi intrapapila
Injeksi intrapapila dapat diberikan untuk menghasilkan analgesia jaringan palatal atau lingual, untuk menghindari suntikan yang lebih terasa sakit yaitu langsung kedalam jaringan palatal atau lingual (Andlaw dan Rock, 1990:77).
2.3 Anestesi Topikal
Anestesi topikal merupakan anestesi lokal yang dapat digunakan di permukaan kulit, selaput lendir atau selaput lainnya. Anestesi topikal dapat berupa salep, pasta,krim, gel, dan semprotan ( Boulton, Blogg, 1994: 117). Terdapat aroma buah-buahan seperti, melon, apel, anggur, jeruk, strawberi, dan lain-lain.
2.3.1. Mekanisme Kerja
Anestesi topikal menghambat hantaran saraf secara reversible, bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan konsentrasi cukup. Konduksi impuls syaraf diblokir dengan cara penurunan permeabilitas membran sel syaraf terhadap ion sodium kemungkinan dengan bersaing dengan ikatan kalsium yang mengendalikan permeabilitas sodium. Perubahan pada permeabilitas ini mengakibatkan penurunan depolarisasi dan meningkatkan ambang batas rangsang yang tentunya mencegah terbentuknya potensial aksi (Windle, 2009). Anestesi topikal yang digunakan umumnya berupa gel dengan aneka aroma yang disukai pasien.
2.3.2. EMLA (Eutectic Mixture of Local Anesthetics)
EMLA merupakan bahan anestesi lokal yang merupakan campuran cairan dan mencair pada temperatur yang lebih rendah dari komponen nya sehingga memungkinkan konsentrasi anestesi yang kebih tinggi. Anestesi lokal ini tersdiri dari 25 mg per ml lidokain dan 25 mg per ml prilokain yang diemulsikan dan penambahan air suling hingga mecapai pH 9,4.
EMLA diaplikasikan secara lapisan yang tebal (1-2 g per 10 cm2 ) pada permukaan kulit. dengan permukaan yang tebal. Kedalaman anestesi tergantung waktu kontak dengan EMLA. Anestesi ini sebaiknya tidak digunakan pada telapak tangan dan kaki karena variabel penetrasinya. EMLA disetujui oleh FDA (US Food and Drug Administration) untuk digunakan kulit yang utuh dan nonmukosa. Namun, penelitian terbaru menunjukkan hasil bahwa EMLA juga dapat secara efektif digunakan pada luka di ekstrimitas (Kundu dan Achar, 2002).
Gambar 7. Contoh sedian anestesi topikal EMLA
2.3.3. Benzocaine
Benzocaine tersedia dalam kemasan salep atau cairan. Biasanya mengandung 7,5%-20% bahan anestesi. Benzocaine adalah obat anestesi yang sering digunakan untuk mengurangi rasa sakit akibat penyuntikan. Bahan ini bekerja seperti cara kerja lidokain. Obat ini juga merupakan satu-satunya anestesi topikal yang dijual bebas di toko-toko untuk rasa sakit di mulut. Produk ini sering digunakan untuk mengatasi rasa sakit dan ketidaknyamanan pada sakit gigi, sariawan, braket, saat gigi akan tumbuh dan akibat pemakaian gigi tiruan (Anonim, 2009).
Gambar 8. Contoh sediaan anestesi topikal benzocaine
2.3.4. Lidocaine (lignocaine, xylocaine, lidonest)
Lidocaine biasanya tersedia dalam bentuk salep. Obat ini biasanya digunakan untuk mengurangi rasa sakit saat mendapatkan luka tembak. Lidocaine viskous berbentuk cairan kental. Bahan ini juga dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada kondisi dry soket yang dialami oleh beberapa orang setelah ekstraksi gigi. Lidocaine yang digunakan dimulut, disepakati merupakan obat yang hanya dipakai di praktek dokter gigi. Produk yang dijual bebas di toko-toko yang mengandung lidocaine sebaiknya tidak digunakan di mulut. Produk-produk ini termasuk salep yang digunakan untuk mengobati luka (Anonim, 2009).
Gambar 9. Contoh sediaan anestesi topikal lignocaine
BAB 3. PEMBAHASAN
Pada fase 1 di penelitian yang dilakukan Nayak dan Sudha (2006), penelitian kecepatan mulai kerja EMLA, benzocaine dan lignocaine dilakukan terhadap 30 pasien. Gel (18% benzocaine) menunjukkan kecepatan mulai kerja yang paling tinggi yaitu 75 detik ±15,81. Namun hasil diatas tidak mendukung klaim pabrik yang menyatakan waktu mulai kerja bahan ini adalah 10 detik dimulai saat aplikasi. Hal ini terjadi karena konstanta disosiasi benzocaine yang rendah (pKa=3.4). Obat anestesi topikal yang mempunyai pKa kurang dari pH fisiologis, sebagai dasar lokal anestesi untuk dapat berdifusi melalui membran mukosa menuju akhiran saraf bebas.
Salep Lignocaine 5%, menunjukkan rata-rata waktu mulai kerja 105 detik berbeda dengan melawan 15dtk yang disarankan di literatur. Aplikasi lignocaine oleh Cawson dan Spector direkomdasikan 1-2 menit kontak dengan mukosa karena diketahui bahwa bahan ini mempunyai aktivitas anastesi permukaan yang lemah.
Krim EMLA mempunyai waktu mulai kerja yang paling lambat (138detik±15.49). Mulai kerja yang lambat ini dapat terjadi karena viskositas bahan yang rendah dan konsekuensinya kesulitan pada saat meletakkan bahan pada tempat aplikasi.
Holst dan Evers menyarankan waktu aplikasi 5 menit untuk batas waktu toleransi pada penggunaan klinis krim EMLA. Haasio et al menyarankan 4 menit untuk waktu aplikasi dan menemukan bahwa efek analgesik maksimum mencapai 13-8 menit. Vickers dan Punnia Moorthy menggunakan waktu aplikasi 2 menit dan mendapati pengurangan rasa sakit yang signifikan saat penetrasi jarum. Meechan dan Webery menyarankan bahwa idealnya anastesi topikal di aplikasikan untuk 2 menit.
Pada penelitian Nayak dan Sudha, topikal anestesi diamati minimal 1 menit untuk mencapai permukaan anastesi yang baik. Hal ini sesuai dengan rekomendasi ADA dan FDA.
Mulai kerja anestetika lokal bergantung pada beberapa faktor, yaitu:
1. pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi meningkat dan dapat menembus membran sel saraf sehingga menghasilkan mula kerja cepat.
2. Alkalinisasi anestetika local membuat mulai kerja cepat
3. Konsentrasi obat anestetika lokal
(Latief dkk, 2002:99).
Anestetik lokal dengan pKa tinggi cenderung mempunyai mula kerja yang lambat. Jaringan dalam suasana asam (jaringan inflamasi) akan menghambat kerja anestetik lokal sehingga mula kerja obat menjadi lebih lama. Hal tersebut karena suasana asam akan menghambat terbentuknya asam bebas yang diperlukan untuk menimbulkan efek anestesi. Dari kedua bentuk di atas yaitu B dan BH, bentuk yang berperan dalam menimbulkan efek blok anestesi masih banyak dipertanyakan. Dikatakan baik basa bebas (B) maupun kationnya (BH) ikut berperan dalam proses blok anestesi. Bentuk basa bebas (B) penting untuk penetrasi optimal melalui selubung saraf, dan kation (BH) akan berikatan dengan reseptor pada sel membran. Cara kerja anestetik lokal secara molekular (teori ikatan reseptor spesifik) adalah sebagai berikut: molekul anestetik lokal mencegah konduksi saraf dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik pada celah natrium. 3,8 Seperti diketahui bahwa untuk konduksi impuls saraf diperlukan ion natrium untuk menghasilkan potensial aksi saraf (Humz, 2009).
Data terkait efektifitas anastesi topikal sangat jarang dan hasilnya sering berlawanan satu sama lain. Fase 2 pada penelitian Nayak dan Sudha (2006) ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas EMLA, lignocaine dan benzocaine dalam mengurangi rasa sakit pada injeksi intraoral. 60 subyek yang digunakan dibagi dalam 3 kelompok dengan masing –masing kelompok sebanyak 20 subyek. Pengukuran dalam penelitian ini dilakukan dalam 2 bentuk yaitu menggunakan skala analog visual dan skala motorik suara-mata untuk pengukuran rasa sakit dan memeperkirakan intensitasa subyektif dan obyektif rasa sakit pada anak.
Pada penelitian ini, ditemukan bahwa krim EMLA mempunyai kemampuan mengurangi rasa sakit lebih tinggi dibanding dengan benzocaine dan lignocaine. Holst dan Evers juga melaporkan keunggulan 5% EMLA diatas 5% xylocaine.
Pada penelitian ini, diketahui bahwa krim EMLA mempunyai viskositas yang rendah dan sulit untuk dikendalikan. Lokalisasi obat ini hanya pada tempat injeksi sulit untuk dilakukan. Untuk mengatasi kesulitan ini, Svenson dan Peterson merekomendasikan penggunaan perban, walaupun Tulga dan Muthu melaporkan kesulitan dalam memepatkan perban ini di mukosa.
Disamping kesulitan-kesulitan teknis ini, keunggulan krim EMLA pada penelitian ini mungkin disebabkan oleh tingginya pH yaitu 9,6. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setnikar bahwa peningkatan pH akan meningkatkan kemampuan bahan anastesi topikal. Selain itu, kombinasi beberapa obat dalam bahan tunggal dapat meningkatkan effisiensinya.
Lama kerja anestetika local dipengaruhi oleh:
a. Ikatan dengan protein plasma, karena reseptor anestetika local adalah protein.
b. Dipengaruhi oleh kecepatan absorbsi.
c. Dipengaruhi oleh banyaknya pembuluh darah perifer di daerah pemberian.
Lama kerja anestesi lokal secara langsung sebanding dengan karakter ikatan protein. Bahan yang mempunyai ikatan protein yang tinggi (contohnya etidocaine dan bupivacaine) mempunyai lama kerja yang lebih panjang, sementara itu bahan yang mempunyai ikatan protein lebih rendah (contoh lidocaine dan mepivacaine) mempunyai waktu kerja yang lebih pendek. Hubungan antara ikatan protein dari anestesi lokal dan lama kerja adalah konsisten dengan struktur dasar dari memberan sayaraf. Jumlah Protein sekitar 10% dari memberan syaraf. Bahan yang berpenetrasi protein akan cenderung mempunyai waktu kerja yang lebih panjang dalam aktifitasnta (Mathewson dan Primosch, 1995: 163).
BAB 4. KESIMPULAN
1. Benzocaine 18% mempunyai kecepatan mulai kerja tertinggi yaitu 75 detik dan diikuti oleh lignocaine 5% yaitu 105 detik dan krim EMLA yaitu 138 detik
2. Walaupun mulai kerjanya lambat namun krim EMLA membuktikan mempunyai kemampuan yang tertinggi dalam mengurangi rasa sakit dan diikuti oleh benzocaine 18% dan lignocaine 5%
DAFTAR PUSTAKA
Andlaw, R.J. dan Rock, W.P. 1992. Perawatan Gigi Anak edisi 2. Alih Bahasa: Agus Djaya. Jakarta : Widya Medika
Anonim. 2009. Topical Anesthetics in the Dental Office. http://www.simplestepsdental.com. [3 Maret 2010]
Boulton, T.B. dan Blogg, C.E. 1994. Anestesiologi. Alih Bahasa: Jonatan Oswari. ”Anaesthetics for Medical Student”. Jakarta:EGC.
Humz, R.2009. Anestesi Lokal Maksila. http://blogs.myspace.com. [19 Februari 2010]
Kundu, S. Dan Achar, S. 2002. Principles of Office Anesthesia: Part II. Topical Anesthesia. www.aafp.org. [ 3 Maret 2010]
Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, M.R.2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: FKUI
Nayak, R. Dan Sudha, P. 2006. Evaluation of Three Topical Anaesthetic Agents Against Pain: A Clinical Study. Indian J Dent Res 2006;17:155-60.
Purwanto, 1993. Petunjuk Praktis Anestesi Lokal. Jakarta: EGC
Sari, I.Y.P. 2009. Anestetika Lokal. www.scribd.com. [2 Maret 2010]
Windle, M.L. 2009. Anesthesia, Topical. http://emedicine.medscape.com.[ 2maret 2010]
1.1 Latar Belakang
Perawatan gigi dan mulut adalah suatu bagian yang penting dalam proses menjaga kesehatan anak sejak dini. Perawatan yang diberikan dokter gigi harus mempertimbangkan perasaan yang dimiliki anak. Dokter gigi harus mampu membangun kepercayaan dan kerjasama dari anak. Perawatan yang simpatik dan baik mempertimbangkan tidak hanya perawatan yang dilakukan sekarang tetapi juga mengusahakan masa depan kesehatan gigi dan mulut anak dengan membentuk sikap positif anak terhadap perawatan gigi yang diberikan (Andlaw dan Rock, 1992:3).
Perawatan gigi yang diberikan kepada anak sering memerlukan tindakan yang menimbulkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pada anak. Pengendalian rasa sakit menjadi bagian integral dari kedokteran gigi modern. Pada kedokteran gigi anak, hal ini menjadi bagian penting dalam membentuk perilaku anak dan membantu menciptakan penerimanan yang sifatnya positif dari orang tua terhadap perawatan gigi dan mulut (Nayak dan Sudha, 2006). Pengendalian rasa sakit ini tidak hanya menguntungkan bagi pasien, tetapi juga bagi dokter gigi. Hal ini terjadi karena ketenangan pasien akan memudahkan dokter gigi dalam melakukan perawatan dengan tenang dan nyaman sesuai prosedur yang seharusnya.
Injeksi jarum pada lokal anestesi merupakan hal yang paling sering dilakukan saat ini untuk mengendalikan rasa sakit ketika melakukan perawatan gigi. Sangat ironis bila pengendali rasa sakit melalui injeksi malah menjadi sumber dari ketakutan dan kegelisahan pada pasien anak-anak. Hal ini mendorong dokter gigi anak melakukan penelitian untuk mendapatkan alat atau bahan yang menimbulkan rasa tidak sakit ketika tindakan anestesti lokal dilakukan. Anestesi topikal kemudian muncul dalam percobaan mereka (Nayak dan Sudha, 2006).
Saat ini berbagai macam bahan tersedia untuk anestesi topikal. Lignocaine merupakan standar yang sering digunakan, benzocaine juga terkenal sebagai bahan anestesi permukaan yang baik. EMLA (Eutectic Mixture of Local Anesthetics) diperkenalkan sebagai salah satu anestesi kulit pada tahun 1980an. Penelitian terakhir pada penggunaan EMLA untuk aplikasi mukosa dilakukan oleh Holst dan Evers. Berawal dari penelitian ini kemudian beberapa penelitian dilakukan yang melaporkan penggunaan obat ini di mukosa dengan hasil yang berlawanan (Nayak dan Sudha, 2006:155) .
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anestesi Lokal
2.1.1 Pengertian Anestesi Lokal
Anestesi lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade lorong natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestesi lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf (Latief dkk, 2002:97).
2.1.2 Struktur Kimia Anestesi Lokal
Anestesi lokal ialah gabungan dari garam larut dalam air (hidrofilik) dan alkaloid larut dalam lemak (lipofilik). Bahan anestesi terdiri dari bagian kepala cincin aromatik tak jenuh bersifat lipofilik, bagian badan sebagai penghubung terdiri dari cincin hidrokarbon dan bagian ekor terdiri dari amino tersier bersifat hidrofilik (Latief dkk, 2002:97).
Bagian lipofilik biasanya terdiri dari cincin aromatic (benzene ring) tak jenuh, misalnya PABA (para-amino-benzoic acid). Bagian ini sangat esensial untuk aktifitas anestesi. Bagian hidrofilik Biasanya golongan amino tersier (dietil-amin) (Latief dkk, 2002:97).
Gambar 1. Struktur kimia anestesi lokal
2.1.3. Penggolongan Anestesi Lokal
Anesteti lokal dibagi menjadi dua golongan
a. Golongan ester (-COOC-)
Kokain, benzokain (amerikain), ametocaine, prokain (nevocaine), tetrakain (pontocaine), kloroprokain (nesacaine).
b. Golongan amida (-NHCO-)
Lidokain (xylocaine, lignocaine), mepivakain (carbocaine), prilokain (citanest).bupivakain (marcaine), etidokain (duranest), dibukain (nupercaine), ropivakain (naropin), levobupivacaine (chirocaine).
(Latief dkk, 2002:98)
Gambar 2. Struktur kimia tiap golongan anestesi lokal
2.1.4 Mekanisme Kerja Anestesi lokal
Anestese lokal bekerja pada reseptor spesifik di saluran natrium (sodium channel). Hal ini mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tidak terjadi konduksi saraf (Latief dkk, 2002:99).
Mekanisme utama aksi anestetik lokal adalah memblokade voltage-gated sodium channels. Membran akson saraf, membran otot jantung, dan badan sel saraf memiliki potensial istirahat -90 hingga -60 mV. Selama eksitasi, lorong sodium terbuka, dan secara cepat berdepolarisasi hingga tercapai potensial equilibrium sodium (+40 mV). Akibat dari depolarisasi,, lorong sodium menutup (inaktif) dan lorong potassium terbuka. Aliran sebelah luar dari repolarisasi potassium mencapai potensial equilibrium potassium (kira-kira -95 mV). Repolarisasi mengembalikan lorong sodium ke fase istirahat.
Gradient ionic transmembran dipelihara oleh pompa sodium tersebut. Akibat turunnya laju depolarisasi, ambang kepekaan terhadap rangsangan listrik lambat Iaun meningkat, sehingga akhirnya terjadi kehilangan rasa setempat secara reversible.
(Sari, 2009).
Gambar 3. Ilustrasi mekanisme kerja anestesi lokal
2.2 Cara Pemberian Anestesi Lokal di Rongga Mulut
2.2.1. Anestesi Topikal
Anestesi topikal merupakan anestesi lokal yang dapat digunakan di permukaan kulit, selaput lendir atau selaput lainnya. Anestesi topikal dapat berupa salep, pasta,krim, gel, dan semprotan ( Boulton dan Blogg, 1994: 117).
2.2.2. Anestesi Infiltrasi
Cara ini juga disebut sebagai injeksi supraperiosteal, karena tempat injeksinya didalam jaringan dimana bahan anestesi dideponir dalam hubungannya dengan periosteum bukal dan labial. Bahan anestesi yang dideponir di atas periosteum setinggi apeks gigi akan mengalir ke dalam periosteum dan tulang melalui proses difusi. Bahan anestesi akan berpenetrasi ke dalam serabut syaraf yang masuk ke apeks gigi sehingga menginervasi alveolus dan membran periodontal. Dalam keadaan normal, akan terbentuk keadaan anestesia pada struktur-struktur tersebut (Purwanto, 1993:7).
Gambar 4. Titik injeksi pada anestesi infiltrasi
2.2.3. Anestesi Blok
Istilah blok berarti anestesi dideponir pada suatu titik diantara otak dan daerah yang dioperasi. Anestesi ini akan menembus batang saraf atau serabut syaraf pada titik tempat bahan anestesi dideponir sehingga memblok sensasi yang datang dari distal. Jenis anestesi ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu, daerah teranestesi yang luas bisa diperoleh hanya dengan sedikit titik suntikan, dan dapat menganestesi tempat-tempat yang merupakan kontraindikasi dari injeksi supraperiosteal (Purwanto, 1993:19).
Gambar 5. Anestesi blok mandibula
Terdapat dua cara dalam melakukan anestesi blok yaitu sebagai berikut ini.
a. Field blok
Field blok dilakukan dengan menyuntikkan bahan anestesi pada sekeliling lapangan operasi, sehingga menghambat semua cabang syaraf proksimal sebelum masuk kedaerah operasi.
b. Nerve blok
Nerve blok dilakukan dengan menyuntikkan bahan anestesi lokal langsung pada syaraf, sehingga menghambat jalannya rangsangan dari daerah operasi yang diinnervasinya.
(Humz, 2009)
2.2.4. Anestesi Intraligamen
Anestesi intraligamen dilakukan dengan injeksi yang diberikan di dalam periodontal ligamen. Injeksi ini menjadi populer setelah adanya syringe khusus untuk tujuan tersebut. Injeksi intraligamen dapat dilakukan dengan jarum dan syringe konvensional, tetapi lebih baik dengan syringe khusus, karena lebih mudah memberikan tekanan yang diperlukan untuk menginjeksikannya ke dalam ligamen periodontal (Andlaw dan Rock, 1990:75).
Jarum yang biasa digunakan adalah jarum dengan ukuran 30 gauge pendek atau sangat pendek, dan syringe dapat dipakai untuk larutan anestesi 1,8 atau 2,2 ml. Untuk mengurangi resiko kerusakan jaringan karena vasokonstriksi, dianjurkan untuk tidak menggunakan larutan yang mengandung adrenalin, karena tekanan pada larutan yang disuntikkan tersebut menghasilkan vasokontriksi dalam ligamen periodontal (Andlaw dan Rock, 1990:75).
Injeksi intraligamen mempunyai beberapa kelebihan dibanding metode konvensional. Injeksi ini biasanya lebih nyaman daripada injeksi blok nervus dental inferior atau injeksi palatal atau infiltrasi bukal pada premaksila . Analgesia diperoleh dengan sangat cepat dan jaringan lunak disekitarnya sedikit terpengaruh. Karena analgesia gigi rahang bawah dapat diperoleh melalui cara ini, ini merupakan salah satu pilihan injeksi yang berguana apabila harus menghindari injeksi blok pada nervus dental inferior ( Andlaw dan Rock, 1990:76).
Gambar 6. Anestesi intraligamen rahang bawah
2.2.5. Injeksi intrapapila
Injeksi intrapapila dapat diberikan untuk menghasilkan analgesia jaringan palatal atau lingual, untuk menghindari suntikan yang lebih terasa sakit yaitu langsung kedalam jaringan palatal atau lingual (Andlaw dan Rock, 1990:77).
2.3 Anestesi Topikal
Anestesi topikal merupakan anestesi lokal yang dapat digunakan di permukaan kulit, selaput lendir atau selaput lainnya. Anestesi topikal dapat berupa salep, pasta,krim, gel, dan semprotan ( Boulton, Blogg, 1994: 117). Terdapat aroma buah-buahan seperti, melon, apel, anggur, jeruk, strawberi, dan lain-lain.
2.3.1. Mekanisme Kerja
Anestesi topikal menghambat hantaran saraf secara reversible, bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan konsentrasi cukup. Konduksi impuls syaraf diblokir dengan cara penurunan permeabilitas membran sel syaraf terhadap ion sodium kemungkinan dengan bersaing dengan ikatan kalsium yang mengendalikan permeabilitas sodium. Perubahan pada permeabilitas ini mengakibatkan penurunan depolarisasi dan meningkatkan ambang batas rangsang yang tentunya mencegah terbentuknya potensial aksi (Windle, 2009). Anestesi topikal yang digunakan umumnya berupa gel dengan aneka aroma yang disukai pasien.
2.3.2. EMLA (Eutectic Mixture of Local Anesthetics)
EMLA merupakan bahan anestesi lokal yang merupakan campuran cairan dan mencair pada temperatur yang lebih rendah dari komponen nya sehingga memungkinkan konsentrasi anestesi yang kebih tinggi. Anestesi lokal ini tersdiri dari 25 mg per ml lidokain dan 25 mg per ml prilokain yang diemulsikan dan penambahan air suling hingga mecapai pH 9,4.
EMLA diaplikasikan secara lapisan yang tebal (1-2 g per 10 cm2 ) pada permukaan kulit. dengan permukaan yang tebal. Kedalaman anestesi tergantung waktu kontak dengan EMLA. Anestesi ini sebaiknya tidak digunakan pada telapak tangan dan kaki karena variabel penetrasinya. EMLA disetujui oleh FDA (US Food and Drug Administration) untuk digunakan kulit yang utuh dan nonmukosa. Namun, penelitian terbaru menunjukkan hasil bahwa EMLA juga dapat secara efektif digunakan pada luka di ekstrimitas (Kundu dan Achar, 2002).
Gambar 7. Contoh sedian anestesi topikal EMLA
2.3.3. Benzocaine
Benzocaine tersedia dalam kemasan salep atau cairan. Biasanya mengandung 7,5%-20% bahan anestesi. Benzocaine adalah obat anestesi yang sering digunakan untuk mengurangi rasa sakit akibat penyuntikan. Bahan ini bekerja seperti cara kerja lidokain. Obat ini juga merupakan satu-satunya anestesi topikal yang dijual bebas di toko-toko untuk rasa sakit di mulut. Produk ini sering digunakan untuk mengatasi rasa sakit dan ketidaknyamanan pada sakit gigi, sariawan, braket, saat gigi akan tumbuh dan akibat pemakaian gigi tiruan (Anonim, 2009).
Gambar 8. Contoh sediaan anestesi topikal benzocaine
2.3.4. Lidocaine (lignocaine, xylocaine, lidonest)
Lidocaine biasanya tersedia dalam bentuk salep. Obat ini biasanya digunakan untuk mengurangi rasa sakit saat mendapatkan luka tembak. Lidocaine viskous berbentuk cairan kental. Bahan ini juga dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada kondisi dry soket yang dialami oleh beberapa orang setelah ekstraksi gigi. Lidocaine yang digunakan dimulut, disepakati merupakan obat yang hanya dipakai di praktek dokter gigi. Produk yang dijual bebas di toko-toko yang mengandung lidocaine sebaiknya tidak digunakan di mulut. Produk-produk ini termasuk salep yang digunakan untuk mengobati luka (Anonim, 2009).
Gambar 9. Contoh sediaan anestesi topikal lignocaine
BAB 3. PEMBAHASAN
Pada fase 1 di penelitian yang dilakukan Nayak dan Sudha (2006), penelitian kecepatan mulai kerja EMLA, benzocaine dan lignocaine dilakukan terhadap 30 pasien. Gel (18% benzocaine) menunjukkan kecepatan mulai kerja yang paling tinggi yaitu 75 detik ±15,81. Namun hasil diatas tidak mendukung klaim pabrik yang menyatakan waktu mulai kerja bahan ini adalah 10 detik dimulai saat aplikasi. Hal ini terjadi karena konstanta disosiasi benzocaine yang rendah (pKa=3.4). Obat anestesi topikal yang mempunyai pKa kurang dari pH fisiologis, sebagai dasar lokal anestesi untuk dapat berdifusi melalui membran mukosa menuju akhiran saraf bebas.
Salep Lignocaine 5%, menunjukkan rata-rata waktu mulai kerja 105 detik berbeda dengan melawan 15dtk yang disarankan di literatur. Aplikasi lignocaine oleh Cawson dan Spector direkomdasikan 1-2 menit kontak dengan mukosa karena diketahui bahwa bahan ini mempunyai aktivitas anastesi permukaan yang lemah.
Krim EMLA mempunyai waktu mulai kerja yang paling lambat (138detik±15.49). Mulai kerja yang lambat ini dapat terjadi karena viskositas bahan yang rendah dan konsekuensinya kesulitan pada saat meletakkan bahan pada tempat aplikasi.
Holst dan Evers menyarankan waktu aplikasi 5 menit untuk batas waktu toleransi pada penggunaan klinis krim EMLA. Haasio et al menyarankan 4 menit untuk waktu aplikasi dan menemukan bahwa efek analgesik maksimum mencapai 13-8 menit. Vickers dan Punnia Moorthy menggunakan waktu aplikasi 2 menit dan mendapati pengurangan rasa sakit yang signifikan saat penetrasi jarum. Meechan dan Webery menyarankan bahwa idealnya anastesi topikal di aplikasikan untuk 2 menit.
Pada penelitian Nayak dan Sudha, topikal anestesi diamati minimal 1 menit untuk mencapai permukaan anastesi yang baik. Hal ini sesuai dengan rekomendasi ADA dan FDA.
Mulai kerja anestetika lokal bergantung pada beberapa faktor, yaitu:
1. pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi meningkat dan dapat menembus membran sel saraf sehingga menghasilkan mula kerja cepat.
2. Alkalinisasi anestetika local membuat mulai kerja cepat
3. Konsentrasi obat anestetika lokal
(Latief dkk, 2002:99).
Anestetik lokal dengan pKa tinggi cenderung mempunyai mula kerja yang lambat. Jaringan dalam suasana asam (jaringan inflamasi) akan menghambat kerja anestetik lokal sehingga mula kerja obat menjadi lebih lama. Hal tersebut karena suasana asam akan menghambat terbentuknya asam bebas yang diperlukan untuk menimbulkan efek anestesi. Dari kedua bentuk di atas yaitu B dan BH, bentuk yang berperan dalam menimbulkan efek blok anestesi masih banyak dipertanyakan. Dikatakan baik basa bebas (B) maupun kationnya (BH) ikut berperan dalam proses blok anestesi. Bentuk basa bebas (B) penting untuk penetrasi optimal melalui selubung saraf, dan kation (BH) akan berikatan dengan reseptor pada sel membran. Cara kerja anestetik lokal secara molekular (teori ikatan reseptor spesifik) adalah sebagai berikut: molekul anestetik lokal mencegah konduksi saraf dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik pada celah natrium. 3,8 Seperti diketahui bahwa untuk konduksi impuls saraf diperlukan ion natrium untuk menghasilkan potensial aksi saraf (Humz, 2009).
Data terkait efektifitas anastesi topikal sangat jarang dan hasilnya sering berlawanan satu sama lain. Fase 2 pada penelitian Nayak dan Sudha (2006) ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas EMLA, lignocaine dan benzocaine dalam mengurangi rasa sakit pada injeksi intraoral. 60 subyek yang digunakan dibagi dalam 3 kelompok dengan masing –masing kelompok sebanyak 20 subyek. Pengukuran dalam penelitian ini dilakukan dalam 2 bentuk yaitu menggunakan skala analog visual dan skala motorik suara-mata untuk pengukuran rasa sakit dan memeperkirakan intensitasa subyektif dan obyektif rasa sakit pada anak.
Pada penelitian ini, ditemukan bahwa krim EMLA mempunyai kemampuan mengurangi rasa sakit lebih tinggi dibanding dengan benzocaine dan lignocaine. Holst dan Evers juga melaporkan keunggulan 5% EMLA diatas 5% xylocaine.
Pada penelitian ini, diketahui bahwa krim EMLA mempunyai viskositas yang rendah dan sulit untuk dikendalikan. Lokalisasi obat ini hanya pada tempat injeksi sulit untuk dilakukan. Untuk mengatasi kesulitan ini, Svenson dan Peterson merekomendasikan penggunaan perban, walaupun Tulga dan Muthu melaporkan kesulitan dalam memepatkan perban ini di mukosa.
Disamping kesulitan-kesulitan teknis ini, keunggulan krim EMLA pada penelitian ini mungkin disebabkan oleh tingginya pH yaitu 9,6. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setnikar bahwa peningkatan pH akan meningkatkan kemampuan bahan anastesi topikal. Selain itu, kombinasi beberapa obat dalam bahan tunggal dapat meningkatkan effisiensinya.
Lama kerja anestetika local dipengaruhi oleh:
a. Ikatan dengan protein plasma, karena reseptor anestetika local adalah protein.
b. Dipengaruhi oleh kecepatan absorbsi.
c. Dipengaruhi oleh banyaknya pembuluh darah perifer di daerah pemberian.
Lama kerja anestesi lokal secara langsung sebanding dengan karakter ikatan protein. Bahan yang mempunyai ikatan protein yang tinggi (contohnya etidocaine dan bupivacaine) mempunyai lama kerja yang lebih panjang, sementara itu bahan yang mempunyai ikatan protein lebih rendah (contoh lidocaine dan mepivacaine) mempunyai waktu kerja yang lebih pendek. Hubungan antara ikatan protein dari anestesi lokal dan lama kerja adalah konsisten dengan struktur dasar dari memberan sayaraf. Jumlah Protein sekitar 10% dari memberan syaraf. Bahan yang berpenetrasi protein akan cenderung mempunyai waktu kerja yang lebih panjang dalam aktifitasnta (Mathewson dan Primosch, 1995: 163).
BAB 4. KESIMPULAN
1. Benzocaine 18% mempunyai kecepatan mulai kerja tertinggi yaitu 75 detik dan diikuti oleh lignocaine 5% yaitu 105 detik dan krim EMLA yaitu 138 detik
2. Walaupun mulai kerjanya lambat namun krim EMLA membuktikan mempunyai kemampuan yang tertinggi dalam mengurangi rasa sakit dan diikuti oleh benzocaine 18% dan lignocaine 5%
DAFTAR PUSTAKA
Andlaw, R.J. dan Rock, W.P. 1992. Perawatan Gigi Anak edisi 2. Alih Bahasa: Agus Djaya. Jakarta : Widya Medika
Anonim. 2009. Topical Anesthetics in the Dental Office. http://www.simplestepsdental.com. [3 Maret 2010]
Boulton, T.B. dan Blogg, C.E. 1994. Anestesiologi. Alih Bahasa: Jonatan Oswari. ”Anaesthetics for Medical Student”. Jakarta:EGC.
Humz, R.2009. Anestesi Lokal Maksila. http://blogs.myspace.com. [19 Februari 2010]
Kundu, S. Dan Achar, S. 2002. Principles of Office Anesthesia: Part II. Topical Anesthesia. www.aafp.org. [ 3 Maret 2010]
Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, M.R.2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: FKUI
Nayak, R. Dan Sudha, P. 2006. Evaluation of Three Topical Anaesthetic Agents Against Pain: A Clinical Study. Indian J Dent Res 2006;17:155-60.
Purwanto, 1993. Petunjuk Praktis Anestesi Lokal. Jakarta: EGC
Sari, I.Y.P. 2009. Anestetika Lokal. www.scribd.com. [2 Maret 2010]
Windle, M.L. 2009. Anesthesia, Topical. http://emedicine.medscape.com.[ 2maret 2010]
Rabu, 08 Juni 2011
PENGGUNAAN KALSIUM HIDROKSIDA DAN ZINK OKSIDE EUGENOL DALAM PULP CAPPING
Pulp Capping adalah perlindungan pada pulpa yang masih sehat atau sedikit terbuka dengan menggunakan bahan bahan sedatif atau antiseptik yang bertujuan untuk mempertahankan vitalitas dan fungsi pulpa (Grossman dkk, 1968: 94).
1.Kalsium Hidroksida
Kalsium hidroksida adalah suatu bahan yang bersifat basa kuat dengan pH 12-13 (Castagnola dan Orlay, 1956: 33). Bahan ini sering digunakan pada direct pulp capping. Jika diletakkan kontak dengan jaringan pulpa, bahan ini dapat mempertahankan vitalitas pulpa tanpa menimbulkan reaksi radang, dan dapat menstimulasi terbentuknya batas jaringan termineralisasi atau jembatan terkalsifikasi pada atap pulpa (pulpa yang terbuka) (Sikri dan Dua, 1985; de Queiroz dkk, 2005). Sifat bahan yang alkali inilah yang banyak memberikan pengaruh pada jaringan. Bentuk terlarut dari bahan ini akan terpecah menjadi ion-ion kalsium dan hidroksil (Castagnola dan Orlay, 1956: 33).
Sifat basa kuat dari kalsium hidroksida dan pelepasan ion kalsium akan membuat jaringan yang berkontak menjadi alkalis. Keadaan basa akan menyebabkan resorpsi atau aktifitas osteoklas akan terhenti karena asam yang dihasilkan dari osteoklas akan dinetralkan oleh kalsium hidroksida dan kemudian terbentuklah komplek kalsium fosfat. Ion kalsium Selain itu osteoblas menjadi aktif dan mendeposisi jaringan terkalsifikasi, maka batas dentin akan dibentuk di atas pulpa (Castagnola dan Orlay, 1956: 3; Kavitha,2005:10-11).
Ion hidroksil diketahui dapat memberikan efek antimikroba. Ion hidroksil akan memberikan efek antimikroba dengan cara merusak lipopolisakarida dinding sel bakteri dan menyebabkan bakteri menjadi lisis. Sifat basa dari kalsium hidroksida akan menetralisir daerah lesi, baik dari bakteri maupun produknya (Castagnola dan Orlay, 1956: 34; Kavitha,2005:8).
2. Zink Okside Eugenol
Zink Okside Eugenol sering digunakan dalam indirect pulp capping dan mempunyai kemampuan pembentukan odontoblas (Sikri dan Dua, 1985; Kavitha,2005:8). Eugenol, secara biologis merupakan bagian yang paling aktif dari bahan ini dan merupakan derivat fenol yang menunjukkan toksisitas pada jaringan serta memiliki sifat anti bakteri. Sifat antibakteri ini memungkinkan nya menekan pertumbuhan bakteri, sehingga mengurangai pembentukan bahan / metabolit toksik yang mungkin dapat menimbulkan inflamasi pulpa. Manfaat eugenol dalam mengendalikan rasa nyeri disebabkan oleh kemampuannya memblokir transmisi impuls syaraf. Selain itu eugenol menunjukkan penutupan biologis yang baik Penelitian menunjukkan terjadinya reaksi inflamasi kronis setelah aplikasi zinc okside eugenol dan akan diikuti oleh pembentukan lapisan odontoblastic yang baru dan terbentuklah dentin sekunder (Walton dan Torabinejad, 1998:478; Kavitha,2005:8).
DAFTAR PUSTAKA
Castagnola, L dan Orlay, H.G. 1956. A System of Endodontia. London : Pitman Medical Publishing
de Queiroz, A.M., Assed,S., Leonardo, M.R., Filho, P.N., da Silva, L.A.B. 2005. MTA and Calcium Hydroxide for Pulp Capping. J. Appl. Oral Sci. vol.13 no.2 Bauru Apr/June 2005. http://www.w3.org [ 1 Oktober 2009]
Grossman, L.I., Oliet, S., Del Rio, C.E. 1968. Endodontic Practice. 11th ed. Philadelphia : Lea and Fibiger
Kavitha, R. 2005. Clinical Radiography Evaluation of Pulpectomis using Zinc Oxide Eugenol with Iodoform, Calcium Hydroxide with Iodoform, Zink Oxide Eugenol and Calcium Hydroxide with Iodoform (a dissertation). Madras : Taminadu DR. M.G. K. Medical university.
Sikri V dan Dua, S.S. 1985. Intermediary Restorations. Federation of Operative Dentists of India, 1985, page 5. [1 Oktober 2009]
Walton, R.E. dan Torabinejad, M. 1998. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodontik, ed 2. Alih Bahasa : N. Sumawinata, W. Shidarta, dan B. Nursasongko. Judul Asli : Principles and Practice of Endodontics 2nd ed. Jakarta : EGC
1.Kalsium Hidroksida
Kalsium hidroksida adalah suatu bahan yang bersifat basa kuat dengan pH 12-13 (Castagnola dan Orlay, 1956: 33). Bahan ini sering digunakan pada direct pulp capping. Jika diletakkan kontak dengan jaringan pulpa, bahan ini dapat mempertahankan vitalitas pulpa tanpa menimbulkan reaksi radang, dan dapat menstimulasi terbentuknya batas jaringan termineralisasi atau jembatan terkalsifikasi pada atap pulpa (pulpa yang terbuka) (Sikri dan Dua, 1985; de Queiroz dkk, 2005). Sifat bahan yang alkali inilah yang banyak memberikan pengaruh pada jaringan. Bentuk terlarut dari bahan ini akan terpecah menjadi ion-ion kalsium dan hidroksil (Castagnola dan Orlay, 1956: 33).
Sifat basa kuat dari kalsium hidroksida dan pelepasan ion kalsium akan membuat jaringan yang berkontak menjadi alkalis. Keadaan basa akan menyebabkan resorpsi atau aktifitas osteoklas akan terhenti karena asam yang dihasilkan dari osteoklas akan dinetralkan oleh kalsium hidroksida dan kemudian terbentuklah komplek kalsium fosfat. Ion kalsium Selain itu osteoblas menjadi aktif dan mendeposisi jaringan terkalsifikasi, maka batas dentin akan dibentuk di atas pulpa (Castagnola dan Orlay, 1956: 3; Kavitha,2005:10-11).
Ion hidroksil diketahui dapat memberikan efek antimikroba. Ion hidroksil akan memberikan efek antimikroba dengan cara merusak lipopolisakarida dinding sel bakteri dan menyebabkan bakteri menjadi lisis. Sifat basa dari kalsium hidroksida akan menetralisir daerah lesi, baik dari bakteri maupun produknya (Castagnola dan Orlay, 1956: 34; Kavitha,2005:8).
2. Zink Okside Eugenol
Zink Okside Eugenol sering digunakan dalam indirect pulp capping dan mempunyai kemampuan pembentukan odontoblas (Sikri dan Dua, 1985; Kavitha,2005:8). Eugenol, secara biologis merupakan bagian yang paling aktif dari bahan ini dan merupakan derivat fenol yang menunjukkan toksisitas pada jaringan serta memiliki sifat anti bakteri. Sifat antibakteri ini memungkinkan nya menekan pertumbuhan bakteri, sehingga mengurangai pembentukan bahan / metabolit toksik yang mungkin dapat menimbulkan inflamasi pulpa. Manfaat eugenol dalam mengendalikan rasa nyeri disebabkan oleh kemampuannya memblokir transmisi impuls syaraf. Selain itu eugenol menunjukkan penutupan biologis yang baik Penelitian menunjukkan terjadinya reaksi inflamasi kronis setelah aplikasi zinc okside eugenol dan akan diikuti oleh pembentukan lapisan odontoblastic yang baru dan terbentuklah dentin sekunder (Walton dan Torabinejad, 1998:478; Kavitha,2005:8).
DAFTAR PUSTAKA
Castagnola, L dan Orlay, H.G. 1956. A System of Endodontia. London : Pitman Medical Publishing
de Queiroz, A.M., Assed,S., Leonardo, M.R., Filho, P.N., da Silva, L.A.B. 2005. MTA and Calcium Hydroxide for Pulp Capping. J. Appl. Oral Sci. vol.13 no.2 Bauru Apr/June 2005. http://www.w3.org [ 1 Oktober 2009]
Grossman, L.I., Oliet, S., Del Rio, C.E. 1968. Endodontic Practice. 11th ed. Philadelphia : Lea and Fibiger
Kavitha, R. 2005. Clinical Radiography Evaluation of Pulpectomis using Zinc Oxide Eugenol with Iodoform, Calcium Hydroxide with Iodoform, Zink Oxide Eugenol and Calcium Hydroxide with Iodoform (a dissertation). Madras : Taminadu DR. M.G. K. Medical university.
Sikri V dan Dua, S.S. 1985. Intermediary Restorations. Federation of Operative Dentists of India, 1985, page 5. [1 Oktober 2009]
Walton, R.E. dan Torabinejad, M. 1998. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodontik, ed 2. Alih Bahasa : N. Sumawinata, W. Shidarta, dan B. Nursasongko. Judul Asli : Principles and Practice of Endodontics 2nd ed. Jakarta : EGC
Senin, 06 Juni 2011
PROTRUSI BIMAKSILER
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Protrusi bimaksiler merupakan salah satu maloklusi yang memperlihatkan inklinasi anterior yang berlebihan dari insisif rahang atas dan rahang bawah. Pasien dengan protrusi bimaksiler biasanya mengalami kesulitan menutup bibir dan gigi berdesakan serta profil wajah yang tidak estetik 1,2,3. Protrusi bimaksiler adalah salah satu maloklusi yang prevalensinya paling banyak di kawasan Asia. Variasi ras menentukan tingkatan dari protrusi gigi 1,4,5. Pada umumnya, wajah orang kulit hitam dan oriental lebih prominen dibanding kaukasoid. Penjelasan dari perbedaaan bentuk antar ras ini berhubungan dengan kontur dari jaringan lunak bibir yang relatif lebih prominen daripada tulang dagu yang menyebabkan protrusi pada sekelompok gigi1,3,4.
Orang dengan estetis wajah yang buruk pada umumnya mempunyai wajah yang relatif lebih cembung berdasarkan posisi anterior dari garis tengah wajah, termasuk giginya1. Beberapa literatur menyebutkan bahwa maloklusi dengan protrusi bimaksiler berhubungan dengan ukuran gigi yang besar dari normal. Posisi gigi dan profil wajah menunjukkan pola yang berbeda. Penemuan ini mengindikasikan bahwa faktor lain juga berhubungan dengan protrusi gigi selain ukuran gigi yang lebar. Berbagai faktor etiologi yang berhubungan dengan terbentuknya protrusi antara lain faktor keturunan, kebiasaan buruk seperti menghisap jempol atau jari dan bernafas lewat mulut1,3,4.
Keadaan gigi tersebut dapat mengganggu penampilan wajah seseorang. Pasien sering merasa rendah diri, minder dan enggan tersenyum, tapi yang paling penting adalah hubungannya dengan kesehatan. Gigi yang berdesakan menjadikannya sulit dibersihkan, sehingga karies cepat terbentuk dan dapat menimbulkan gingivitis maupun periodontitis. Maloklusi sedapat mungkin harus diperbaiki, bukan semata demi estetika, tapi juga kesehatan gigi1,2,4.
2 PROTRUSI BIMAKSILER
2.1 Definisi
Protrusi bimaksiler merupakan suatu kondisi yang ditandai protrusi atau bertambahnya inklinasi insisif rahang atas dan rahang bawah. Kondisi ini berakibat pada bibir yang tidak menutup sempurna pada profil wajah yang konvek1-3,5.
2.2 Diagnosis
Dignosis ditetapkan berdasarkan pertimbangan data hasil pemeriksaan secara sistematis. Penetapan diagnosis harus dilakukan dengan data diagnostik, antara lain; data pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan subyektif dan obyektif serta data pemeriksaan dan pengukuran pada model studi serta analisis sefalometri6,7,8.
2.2.1 Pemeriksaan klinis
Penegakan awal pada diagnosis protrusi bimaksiler dapat dilihat dengan mudah secara klinis. Secara klinis akan terlihat jarak yang jauh pada kedua bibir ketika posisi istirahat lip incompetence, yaitu adanya usaha yang berlebihan untuk mendapatkan penutupan kedua bibir yang ideal lip strain dan profil bibir yang prominen7.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan mengamati hubungan rahang atas terhadap rahang bawah langsung pada pasien dengan bantuan seutas benang yang diberi pemberat. Pasien diamati dari lateral tegak lurus bidang sagital, sebagai acuan atau referensi dalam keadaan normal benang akan melewati permukaan labial gigi di daerah sepertiga bagian distal lebar mesiodistal gigi kaninus atas kanan dan kiri serta pada rahang bawah akan melewati daerah interdental gigi kaninus dan premolar pertama pada sisi distal kaninus bawah6.
Apabila bidang orbital pasien berada di distal posisi normal maka posisi maksila atau mandibula pasien didiagnosis protrusif, sedangkan pada sisi mesial posisi normal maksila atau mandibula didiagnosis retrusif. Posisi maksila dan madibula pasien dapat pula ditentukan dengan mengamati bagian depan maksila (Subnasale/Sn) dan bagian depan mandibula (Pogonion/Pog) terhadap bidang yang melalui titik Glabella (G) tegak lurus Frankfurt Horizontal Plane /FHP (G ⊥ FHP)
- Maksila normal : titik Sn berjarak 6 + 3 mm, protrusif >9 mm, retrusif < 3 mm - Mandibula normal : titik Pog.berjarak 0 + 4 mm, proturusif > 4 mm, retrusif < 0 mm/ negatif6. 2.2.2 Analisis model studi Posisi bidang orbital pada studi model dapat ditransfer dari hasil pengamatan langsung secara klinis seperti yang dilakukan pada pemeriksaan klinis. Pada model studi, posisi tersebut kemudian ditandai pada permukaan labial atau bukal dan tepi lateral kemudian model ditriming untuk membentuk sudut depan lateral6. Penentuan posisi maksila dan mandibula dapat dilakukan dengan menetapkan posisi bidang orbital pasien. Pada kondisi posisi bidang orbital pasien melewati daerah sepertiga distal permukaan labial gigi kaninus atas maka posisi maksila normal, bila berada didistalnya posisi maka maksila protrusif dan bila berada didepannya maksila retrusif6. Posisi mandibula ditetapkan dengan mengoklusikan model rahang atas dan rahang bawah secara sentrik. Posisi bidang orbital pasien pada gigi bawah diamati dan bila melewati daerah interdental gigi kaninus dan premolar pertama bawah tepat pada sisi distal gigi kaninus posisi mandibula normal, bila bidang orbital berada di distalnya posisi madibula protrusif dan bila berada didepannya posisi mandibula retrusif6. Pada pasien profil ortognatik posisi maksila dan mandibula berada pada posisi normal. Posisi maksila dan mandibula protrusif profil pasien bimaksiler prognatik dan bila keduanya retrusif profil pasien bimaksiler retrognatism6. Penentuan posisi bidang orbital bisa salah bila pengamatan profil pasien dari samping tidak tepat tegak lurus terhadap bidang sagital pasien. Penentuan diagnosis bisa salah apabila posisi gigi kaninus atas malposisi, bila gigi kaninus malposisi posisi normalnya nanti bisa ditetapkan pada pembuatan lengkung ideal yaitu pada posisi garis Simon yang telah ditandai pada model seperti yang dilakukan di atas6. 2.2.2 Analisis sefalometri Analisis sefalometri diperlukan untuk melakukan diagnosis dan perawatan. Radiografi ini sangat umum digunakan untuk mengevaluasi dan menganalisa pola jaringan lunak. Istilah sefalometri merupakan pengukuran ilmiah dari dimensi kompleks kranio fasial. Sefalometri digunakan untuk mengukur secara langsung dimensi kepala, dan wajah berdasarkan pola skeletal, dental dan jaringan lunak7. Sheikh A dan Ijaz A. Lip dalam penelitiannya menyatakan bahwa beberepa analisis sefalometri telah dilakukan dan dimodifikasi dari waktu ke waktu dan seperti analisis Tweed, analisi Steiners, analisis Ricketts, analisis Burstone, analisi Holdaway dan analisi Witts. Sefalometri menyediakan data untuk penelitian populasi pada individu yang sama dengan cross sectional maupun longitudional7. Variabilitas posisi bibir dapat dilihat dari lateral sefalometri dengan cara pasien diinstruksikan agar bibir dalam posisi istirahat dan giginya beroklusi. Hal ini dilakukan karena sifat bibir yang bergerak dengan mudah dan fleksibel. Ekstensi bibir dapat dengan mudah beradaptasi dengan perubahan insisif dan dapat menjadi lebih sempit ataupun lebih lebar tergantung mobilitas ekstensinya7. Protrusi bimaksiler berhubungan dengan posterior basis kranii yang pendek, maksila yang lebih panjang dan prognasi, pola skeletal klas II ringan, panjang wajah atas dan posterior yang lebih kecil, profil jaringan lunak yang ke anterior dengan garis bibir yang rendah. Garis bibir yang lebih tinggi dan sudut naso labial serta sudut labio mental, sangat berhubungan dengan pasien yang mengalami protrusi bimaksiler 7,8. Pada protrusi bimaksiler posisi rahang atas dan rahang bawah lebih ke anterior dalam hubungannya terhadap basis kranium. Pada sefalogram dengan analisis Sefalometrik Steiner hasil pengukuran sudut ANB > 2° (standar normal 2°)
• Analisis Steiner dengan mengukur besar6,8 :
- Sudut SNA (normal 82°) , >82° maksila protrusif , < 82° maksila retrusif - Sudut SNB (normal 80°) , > 80° mandibula protrusif, < 80° mandibula retrusif bila titik A jauh didepan titik B (>>2°/ positif) : klas II skeletal atau retrognatik,
bila titik A jauh di belakang titik B (<<2°/negatif ) : klas III skeletal/prognatik
Titik A. : titik sub spinal yaitu titik terdepan basis alveolaris maksila
N/Na. : titik Nasion yaitu titik terdepan sutura frontonasalis
B. : titik supra mentale yaitu titik terdepan basis alveolaris mandibularis6,8.
Gambaran klinis protrusi bimaksiler
Gambar 1. Inklinasi gigi anterior rahang atas dan rahang bawah yang bertambah pada kondisi protrusi bimaksiler 5
Gambaran sefalogram pada diagnosis protrusi bimaksiler
Gambar 2. Titik A. : titik sub spinal, N/Na. : titik Nasion, Or. : orbital, Po. : porion, Go. : gonion, Pg. : pogonion, Me: menton, PNS. : posterior nasal spine, ANS. : anterior nasal spine6,8.
2.3 Etiologi
Etiologi terjadinya protrusi bimaksiler sangat multifaktorial. Beberapa faktor yang berpengaruh adalah faktor genetik atau herediter dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan meliputi kebiasaan menghisap jari, bernafas lewat mulut, serta faktor genetik seperti volume lidah ataupun faktor skeletal5.
2.3.1 Faktor genetik
Herediter telah lama dikenal sebagai penyebab maloklusi. Asal genetik dapat menyebabkan penampilan gigi anak seperti orang tuanya. Kelainan pada umumnya belum dapat dilihat sampai umur 6 tahun setelah kelahiran, karena tumbuhnya gigi permanen dimulai pada umur 6 tahun6.
2.3.2 Kebiasaan menghisap jari atau jempol
Anak-anak biasanya mulai menghisap jempol pada usia 3 tahun – 4 tahun. Hal ini dikarenakan pada umur ini anak tidak mendapatkan ASI dari ibu sehingga mencari pengganti. Arah aplikasi tekanan terhadap gigi selama menghisap jempol dapat menyebabkan insisif maksila terdorong ke labial, sementara otot bukal mendesak segmen leteral dari lengkung dental. Hal ini menyebabkan kondisi protrusi pada anak6.
2.3.3 Bernafas lewat mulut
Kebiasaan ini biasanya terjadi karena gangguan saluran nafas yaitu hidung. Gangguan ini menyebabkan anak merasa nyaman bernafas melalui mulut. Kebiasaan ini menyebabkan lengkung gigi dan rahang menyempit serta cembung ke arah anterior sehingga terjadi keadaan protrusi6.
2.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ortodontik dibagi tiga bagian perawatan yaitu (1) perawatan preventif yang dilakukan pada saat terlihat adanya kondisi abnormal yang terlihat pada mulut; (2) perawatan korektif yang dilakukan pada saat indikasi dan manifestasi maloklusi sudah nampak; (3) pemeliharaan pasca perawatan yang dilakukan untuk mencegah relaps pada perawatan9.
2.4.1 Perawatan preventif
Perawatan preventif dilakukan pada saat kondisi abnormal pada mulut mulai terlihat. Hal yang terpenting adalah kesadaran dari orang tua jika beberapa hal abnormal terjadi dan edukasi orang tua untuk mencegah berlanjutnya kebiasaan buruk yang terjadi pada anak.
Anak membutuhkan latihan bagaimana bernafas dengan normal meskipun tidak ada malformasi jaringan seperti deformasi tulang rahang, bibir atas yang pendek dan bibir bawah yang tidak berfungsi dengan baik. Anak-anak dengan kebiasaan bernafas melalui mulut dapat dicegah dengan pemakaian oral screen. Kondisi bernafas lewat mulut harus diketahui faktor penyebabnya sehingga kebiasaan ini bisa dihentikan9,10.
2.4.2 Perawatan korektif
Perawatan korektif pada kelainan protrusi bimaksiler didasarkan pada analisis lengkap yang dilakukan sesuai dengan kondisi dan detail maloklusi yang ada. Perawatan dilakukan berdasarkan analisis sefalometri, dental x-ray, foto, dan model studi. Secara garis besar tujuan perawatan protrusi bimaksiler adalah untuk; meluruskan lengkung, mengkoreksi rotasi, meretraksi dan meluruskan gigi anterior, memelihara hubungan klas I kaninus dan molar dengan penjangkaran yang maksimal, mendapatkan tuntunan kaninus dan molar, mendapatkan garis tengah dental dan fasial, mendapatkan overbite dan overjet yang sesuai, meningkatakan kondisi gingiva, meningkatkan profil keseimbangan dan estetis wajah5,8,11. Alternatif perawatan pada kondisi protrusi bimaksiler terdiri dari perawatan ortodontik, perawatan kombinasi (bedah ortognatik dan ortodontik) dan bedah ortognatik.
A. Perawatan ortodontik
Pilihan perawatan ini membutuhkan tingkat kooperatif yang tinggi dari pasien. Rencana perawatannya termasuk pencabutan premolar pertama rahang atas dan rahang bawah selanjutnya dipasangkan alat ortodontik. Perawatan dengan cara ortodontik pada kasus protrusi bimaksiler bisa mendapatkan hasil yang maksimal jika; (a) hubungan skeletal normal-jika hubungan skeletal tidak normal maka kombinasi perawatan bedah ortognati dan perawatan ortodontik seharusnya dilakukan untuk mendapatkan hasil perawatan yang maksimal, (b) pola wajah yang umum, (c) orang dewasa dengan kemungkinan pertumbuhan yang kecil12.
Perawatan ortodontik ini memerlukan komunikasi dengan pasien untuk mengurangi resiko yang lebih buruk dan untuk mencegah relapsnya perawatan. Selain itu, faktor penyebab yang terjadi harus dihentikan seperti menghisap jari dan bernafas lewat mulut sehingga tidak terjadi relaps12.
B. Kombinasi bedah ortognatik dan ortodontik
Perawatan ortodontik sering menimbulkan banyak kelemahan, terutama pada pasien dengan permasalahan jaringan periodontal. Perawatan ortodontik biasanya memerlukan penutupan space dari gigi yang diekstrasi yang menyebabkan resorbsi tulang dan akar gigi. Sebagai konsekuensinya klinisi biasanya mengurangi waktu perawatan yang lama atau pergerakan gigi yang sulit dengan tujuan untuk mengurangi resiko diatas. Salah satu jalan untuk mengurangi resiko diatas adalah menggunakan segmental osteotomi. Prosedur ini akan mengurangi pergerakan gigi dan mengurangi waktu perawatan, namun perawatan bedah juga menimbulkan resiko kehilangan vitalitas gigi14.
Kombinasi bedah dan perawatan ortodontik dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu (1) menggunakan osteotomi segmental maksila dan mandibula untuk meretraksi gigi dan perawatan ortodontik untuk koreksi maloklusi ringan (2) menggunakan perawatan ortodontik untuk meluruskan dan meretraksi lengkung mandibula dan melanjutkan osteotomi untuk meretraksi gigi rahang atas13.
Hal lain yang bisa dilakukan dengan kombinasi kedua perawatan ini adalah menghilangkan premolar rahang atas dan rahang bawah. Perawatan ortodontik dengan kasus yang lebih sulit memerlukan kortikotomi - perawatan ortodontik yang difasilitasi untuk pergerakan blok tulang dengan gigi. Kortikotomi dilakukan untuk mengurangi suatu blok tulang sekitar anterior rahang atas dan meretraksi anterior rahang bawah dengan segmental osteotomi dibawah anestesi. Menggunakan retraktor lingual C dan plate C pada maksila sebagai penjangkaran cekat8,14.
Selama perawatan aktif kortikotomi tidak terdapat kerusakan periodontal, seperti resesi gingiva atau hilangnya vitalitas gigi, sedangkan pada pemeriksaan sefalogram tidak terdapat kerusakan tulang alveolar serta resorbsi tulang dengan perawatan. Perawatan ortodontik dengan kortikotomi memperpendek masa perawatan. Berdasarkan penelitian sebelumnya waktu total perawatan ortodontik dengan kortikotomi hanya sepertiga atau seperempat waktu dibanding dengan ortodontik konvensional8.
Kecepatan pergerakan gigi berhubungan dengan metabolisme dan densitas tulang. Pergerakan gigi remaja lebih cepat dibanding dengan dewasa serta lebih responsif karena tingkat mediator pada usia muda lebih cepat dibanding orang dewasa pada pergerakan awal gigi. Osteoklas dan osteoblas meningkat setelah fraktur dan bedah seperti osteotomi, bone grafting dan bone healing yang terakselerasi. Kortikotomi, perawatan ortodontik terfasilitasi dengan titanium mini plates dapat menjadi metode efektif untuk penjangkaran maksimal pada pasien dewasa yang menginginkan perawatan ortodontik yang cepat8.
Dengan perkembangan teknik bedah ortognatik, pasien dengan protrusi bimaksiler dapat diuntungkan dengan kombinasi dari bedah dan perawatan ortodontik. Keuntungan utama pendekatan ini adalah; a. Segmen anterior dapat direposisi secara vertikal dan horizontal ketika dilakukan bedah. b. Keharusan dari tingkat kooperatif pasien bisa dikurangi c. Waktu yang diperlukan dalam seluruh perawatan bisa dikurangi. d. Kestabilan oklusi setelah perawatan bisa tercapai e. Augmentasi genioplasti dapat dilakukan bersamaan dengan retraksi13.
C. Bedah ortognatik
Bedah diperlukan berdasar analisis dasar dari wajah dan derajat protrusi. Prosedur bedah ortognati meliputi menghilangkan keempat gigi premolar dan melakukan anterior segmental osteotomi pada kedua lengkung untuk mempengaruhi retraksi secara bedah dibawah anestesi umum. Umur ideal untuk dilaksanakannya bedah ortognatik adalah setelah periode pertumbuhan selasai. Periode pertumbuhan selesai yaitu umur 18 tahun untuk perempuan dan umur 20 tahun untuk laki-laki10.
Bedah ortognati diperlukan pada kondisi10 :
a. Secara analisis, protrusi terjadi oleh karena tulang alveolar (tipe skeletal)
b. Kondisi gingiva yang tidak memungkinkan untuk dilakukan perawatan ortodontik biasa.
c. Jika protrusi harus terkoreksi dalam jangka waktu yang singkat
d. Derajat protrusi lebih dari 4mm
e. Gingiva yang terlihat terlalu banyak pada saat tersenyum.
Bedah untuk protrusi bimaksiler sering disebut dengan ASO (Anterior Segmental Osteotomy). Bedah ASO termasuk ekstraksi gigi yang lebih posterior dari kaninus, tulang alveolar pada spasia ini dihilangkan dan secara keseluruhan tulang alveolar dan giginya diretraksi13.
Teknik bedah untuk protrusi bimaksiler yang lain adalah two-jaw surgery. Teknik bedah ini dilakukan jika bedah ASO tidak bisa dilaksanakan karena ekstraksi gigi dilakukan pada usia muda, dan derajat protrusi gigi tidak terlalu parah. Teknik ini merupakan prosedur bedah yang dilakukan pada maksila untuk memperpendek sehingga dapat mengkoreksi protrusi maksila. Metode ini juga untuk mengkoreksi kelebihan sisi vertikal maksila, gummy smile atau sebagian besar gingiva terlihat saat tersenyum. Insisi dilakukan didalam mulut kemudian maksila diturunkan dan kelebihan tulang dihilangkan. Setelah reposisi rahang, tulang rahang disatukan dan disambung dengan kawat dan dijahit dengan benang absorbable. Alasan lain untuk melakukan bedah dengan teknik ini yaitu ketika rahang bawah protrusi dan wajah yang panjang15.
2.4.3 Pemeliharaan pasca perawatan
Pada penatalaksanaan pasien dengan protrusi bimaksiler, setelah fase perawatan aktif korektif, maka tahapan selanjutnya adalah pemeliharaan post perawatan atau fase pasif retentive. Setelah koreksi maloklusi dilakukan sesuai dengan rencana perawatannya, maka untuk mencegah terjadinya relaps dibutuhkan waktu untuk fase pasif retentive. Penggunaan alat dan jenis serta lama waktunya tergantung pada jenis perawatan yang dilakukan. Pada perawatan ortodontik tunggal dibutuhkan alat retainer yang dipakai minimal 6 bulan dan selanjutnya dilakukan evaluasi untuk memastikan keseluruhan perawatan telah selesai. Pada perawatan dengan bedah ortognatik waktu pemeliharaan adalah waktu yang diperlukan sampai proses healing selesai minimal 6 bulan 2,14,16.
3 KESIMPULAN
1. Protrusi bimaksiler merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan bertambahnya inklinasi insisif rahang atas dan rahang bawah.
2. Perawatan pada protrusi bimaksiler antara lain perawatan ortodonti, kombinasi bedah ortognati dan ortodonsi, dan perawatan bedah ortognati.
DAFTAR PUSTAKA
1. Min KS, Jae HK, Jin HC, et al. What determines dental protrusion or crowding while both malocclusions are caused by large tooth size?. Korean J Orthod 2009;39:330-36.
2. Al-moddather M, El-hadidy. Premolar maxillary set back osteotomy: long term result the department of plastic surgery unit. Egypt, J. Plast. Reconstr. Surg 2005; 29: 105-11.
3. Hariyanto E. Rapikan Susunan Gigi Anda. http://fkg-unhas.blogspot.com/2008/12/rapikan-susunan-gigi-anda.html. 2008. [27 Maret 2010:19.45]
4. Ouyang L, Zhou Y, Fu M, et al. Case report extraction treatment of an adult patient with severe bialveolar dentoalveolar protrusion using microscrew anchorage. Chin Med J 2007;120:1732-36.
5. Alam MK. Bimaxillary proclination with spacing: treatment for esthetic improvement. Bangladesh Journal Of Medical Science 2009;8:129-34.
6. Ardhana W. Diagnosis Orthodontik.Jogjakarta, Fakultas Kedokteran Gigi UGM. 2010.
7. Sheikh A dan Ijaz A. Lip morphology in bimaxillary dentoalveolar protrusion in class I and class II adults. Pakistan Oral & Dental Journal 2009;29:261-68.
8. Lino S, Sakoda S, Miyawaki S. An adult bimaxillary protrusion treated with corticotomy facilitated orthodontics and titanium miniplates. Angle Orthodontist 2006;76:1074-82.
9. Salzmann JA. Orthodontics principles and prevention. London, J.B Lippincott Company. 1957.
10. Strang L dan Thompson M. Text book of orthodontic. Toronto, C.V. Mosby.1979
11. Seong HK, Kye-BL, Kyu RC et al. Severe bimaxillary protrusion with adult periodontitis treated by corticotomy and compression osteogenesis. Korean J Orthod 2009;39(1):54-65.
12. Hui CC, Si HL, Hong PC.Orthodontic treatment of bimaxillary protrusion using traditional anchorage control. J. Taiwan Assoc. Orthod. 2005; 17:44-50
13. Yan SW, Chan SK, Wong WKR. Treatment of bimaxillary protrusion by combined surgico-orthodontic approach case report. Hong Kong. Int J 2006; 9: 94-100
14. Uribe F dan Nanda R. Treatment of bimaxillary protrusion using fiber-reinforced composite. Journal of Clinical Orthodontic 2007;41(1):27-32.
15. Ben CAU dan Alfred LAU. The Planning of Orthognathic Surgery -The Digital Era. Dental Buletin. The Hongkong Medical Diary 2009;14:11-14
16. De Leon EJG. Treatment of class I bimaxillary protrusion.The Philippine Journal Of Orthodontics 2005;(1):1-6.
1.1 Latar Belakang
Protrusi bimaksiler merupakan salah satu maloklusi yang memperlihatkan inklinasi anterior yang berlebihan dari insisif rahang atas dan rahang bawah. Pasien dengan protrusi bimaksiler biasanya mengalami kesulitan menutup bibir dan gigi berdesakan serta profil wajah yang tidak estetik 1,2,3. Protrusi bimaksiler adalah salah satu maloklusi yang prevalensinya paling banyak di kawasan Asia. Variasi ras menentukan tingkatan dari protrusi gigi 1,4,5. Pada umumnya, wajah orang kulit hitam dan oriental lebih prominen dibanding kaukasoid. Penjelasan dari perbedaaan bentuk antar ras ini berhubungan dengan kontur dari jaringan lunak bibir yang relatif lebih prominen daripada tulang dagu yang menyebabkan protrusi pada sekelompok gigi1,3,4.
Orang dengan estetis wajah yang buruk pada umumnya mempunyai wajah yang relatif lebih cembung berdasarkan posisi anterior dari garis tengah wajah, termasuk giginya1. Beberapa literatur menyebutkan bahwa maloklusi dengan protrusi bimaksiler berhubungan dengan ukuran gigi yang besar dari normal. Posisi gigi dan profil wajah menunjukkan pola yang berbeda. Penemuan ini mengindikasikan bahwa faktor lain juga berhubungan dengan protrusi gigi selain ukuran gigi yang lebar. Berbagai faktor etiologi yang berhubungan dengan terbentuknya protrusi antara lain faktor keturunan, kebiasaan buruk seperti menghisap jempol atau jari dan bernafas lewat mulut1,3,4.
Keadaan gigi tersebut dapat mengganggu penampilan wajah seseorang. Pasien sering merasa rendah diri, minder dan enggan tersenyum, tapi yang paling penting adalah hubungannya dengan kesehatan. Gigi yang berdesakan menjadikannya sulit dibersihkan, sehingga karies cepat terbentuk dan dapat menimbulkan gingivitis maupun periodontitis. Maloklusi sedapat mungkin harus diperbaiki, bukan semata demi estetika, tapi juga kesehatan gigi1,2,4.
2 PROTRUSI BIMAKSILER
2.1 Definisi
Protrusi bimaksiler merupakan suatu kondisi yang ditandai protrusi atau bertambahnya inklinasi insisif rahang atas dan rahang bawah. Kondisi ini berakibat pada bibir yang tidak menutup sempurna pada profil wajah yang konvek1-3,5.
2.2 Diagnosis
Dignosis ditetapkan berdasarkan pertimbangan data hasil pemeriksaan secara sistematis. Penetapan diagnosis harus dilakukan dengan data diagnostik, antara lain; data pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan subyektif dan obyektif serta data pemeriksaan dan pengukuran pada model studi serta analisis sefalometri6,7,8.
2.2.1 Pemeriksaan klinis
Penegakan awal pada diagnosis protrusi bimaksiler dapat dilihat dengan mudah secara klinis. Secara klinis akan terlihat jarak yang jauh pada kedua bibir ketika posisi istirahat lip incompetence, yaitu adanya usaha yang berlebihan untuk mendapatkan penutupan kedua bibir yang ideal lip strain dan profil bibir yang prominen7.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan mengamati hubungan rahang atas terhadap rahang bawah langsung pada pasien dengan bantuan seutas benang yang diberi pemberat. Pasien diamati dari lateral tegak lurus bidang sagital, sebagai acuan atau referensi dalam keadaan normal benang akan melewati permukaan labial gigi di daerah sepertiga bagian distal lebar mesiodistal gigi kaninus atas kanan dan kiri serta pada rahang bawah akan melewati daerah interdental gigi kaninus dan premolar pertama pada sisi distal kaninus bawah6.
Apabila bidang orbital pasien berada di distal posisi normal maka posisi maksila atau mandibula pasien didiagnosis protrusif, sedangkan pada sisi mesial posisi normal maksila atau mandibula didiagnosis retrusif. Posisi maksila dan madibula pasien dapat pula ditentukan dengan mengamati bagian depan maksila (Subnasale/Sn) dan bagian depan mandibula (Pogonion/Pog) terhadap bidang yang melalui titik Glabella (G) tegak lurus Frankfurt Horizontal Plane /FHP (G ⊥ FHP)
- Maksila normal : titik Sn berjarak 6 + 3 mm, protrusif >9 mm, retrusif < 3 mm - Mandibula normal : titik Pog.berjarak 0 + 4 mm, proturusif > 4 mm, retrusif < 0 mm/ negatif6. 2.2.2 Analisis model studi Posisi bidang orbital pada studi model dapat ditransfer dari hasil pengamatan langsung secara klinis seperti yang dilakukan pada pemeriksaan klinis. Pada model studi, posisi tersebut kemudian ditandai pada permukaan labial atau bukal dan tepi lateral kemudian model ditriming untuk membentuk sudut depan lateral6. Penentuan posisi maksila dan mandibula dapat dilakukan dengan menetapkan posisi bidang orbital pasien. Pada kondisi posisi bidang orbital pasien melewati daerah sepertiga distal permukaan labial gigi kaninus atas maka posisi maksila normal, bila berada didistalnya posisi maka maksila protrusif dan bila berada didepannya maksila retrusif6. Posisi mandibula ditetapkan dengan mengoklusikan model rahang atas dan rahang bawah secara sentrik. Posisi bidang orbital pasien pada gigi bawah diamati dan bila melewati daerah interdental gigi kaninus dan premolar pertama bawah tepat pada sisi distal gigi kaninus posisi mandibula normal, bila bidang orbital berada di distalnya posisi madibula protrusif dan bila berada didepannya posisi mandibula retrusif6. Pada pasien profil ortognatik posisi maksila dan mandibula berada pada posisi normal. Posisi maksila dan mandibula protrusif profil pasien bimaksiler prognatik dan bila keduanya retrusif profil pasien bimaksiler retrognatism6. Penentuan posisi bidang orbital bisa salah bila pengamatan profil pasien dari samping tidak tepat tegak lurus terhadap bidang sagital pasien. Penentuan diagnosis bisa salah apabila posisi gigi kaninus atas malposisi, bila gigi kaninus malposisi posisi normalnya nanti bisa ditetapkan pada pembuatan lengkung ideal yaitu pada posisi garis Simon yang telah ditandai pada model seperti yang dilakukan di atas6. 2.2.2 Analisis sefalometri Analisis sefalometri diperlukan untuk melakukan diagnosis dan perawatan. Radiografi ini sangat umum digunakan untuk mengevaluasi dan menganalisa pola jaringan lunak. Istilah sefalometri merupakan pengukuran ilmiah dari dimensi kompleks kranio fasial. Sefalometri digunakan untuk mengukur secara langsung dimensi kepala, dan wajah berdasarkan pola skeletal, dental dan jaringan lunak7. Sheikh A dan Ijaz A. Lip dalam penelitiannya menyatakan bahwa beberepa analisis sefalometri telah dilakukan dan dimodifikasi dari waktu ke waktu dan seperti analisis Tweed, analisi Steiners, analisis Ricketts, analisis Burstone, analisi Holdaway dan analisi Witts. Sefalometri menyediakan data untuk penelitian populasi pada individu yang sama dengan cross sectional maupun longitudional7. Variabilitas posisi bibir dapat dilihat dari lateral sefalometri dengan cara pasien diinstruksikan agar bibir dalam posisi istirahat dan giginya beroklusi. Hal ini dilakukan karena sifat bibir yang bergerak dengan mudah dan fleksibel. Ekstensi bibir dapat dengan mudah beradaptasi dengan perubahan insisif dan dapat menjadi lebih sempit ataupun lebih lebar tergantung mobilitas ekstensinya7. Protrusi bimaksiler berhubungan dengan posterior basis kranii yang pendek, maksila yang lebih panjang dan prognasi, pola skeletal klas II ringan, panjang wajah atas dan posterior yang lebih kecil, profil jaringan lunak yang ke anterior dengan garis bibir yang rendah. Garis bibir yang lebih tinggi dan sudut naso labial serta sudut labio mental, sangat berhubungan dengan pasien yang mengalami protrusi bimaksiler 7,8. Pada protrusi bimaksiler posisi rahang atas dan rahang bawah lebih ke anterior dalam hubungannya terhadap basis kranium. Pada sefalogram dengan analisis Sefalometrik Steiner hasil pengukuran sudut ANB > 2° (standar normal 2°)
• Analisis Steiner dengan mengukur besar6,8 :
- Sudut SNA (normal 82°) , >82° maksila protrusif , < 82° maksila retrusif - Sudut SNB (normal 80°) , > 80° mandibula protrusif, < 80° mandibula retrusif bila titik A jauh didepan titik B (>>2°/ positif) : klas II skeletal atau retrognatik,
bila titik A jauh di belakang titik B (<<2°/negatif ) : klas III skeletal/prognatik
Titik A. : titik sub spinal yaitu titik terdepan basis alveolaris maksila
N/Na. : titik Nasion yaitu titik terdepan sutura frontonasalis
B. : titik supra mentale yaitu titik terdepan basis alveolaris mandibularis6,8.
Gambaran klinis protrusi bimaksiler
Gambar 1. Inklinasi gigi anterior rahang atas dan rahang bawah yang bertambah pada kondisi protrusi bimaksiler 5
Gambaran sefalogram pada diagnosis protrusi bimaksiler
Gambar 2. Titik A. : titik sub spinal, N/Na. : titik Nasion, Or. : orbital, Po. : porion, Go. : gonion, Pg. : pogonion, Me: menton, PNS. : posterior nasal spine, ANS. : anterior nasal spine6,8.
2.3 Etiologi
Etiologi terjadinya protrusi bimaksiler sangat multifaktorial. Beberapa faktor yang berpengaruh adalah faktor genetik atau herediter dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan meliputi kebiasaan menghisap jari, bernafas lewat mulut, serta faktor genetik seperti volume lidah ataupun faktor skeletal5.
2.3.1 Faktor genetik
Herediter telah lama dikenal sebagai penyebab maloklusi. Asal genetik dapat menyebabkan penampilan gigi anak seperti orang tuanya. Kelainan pada umumnya belum dapat dilihat sampai umur 6 tahun setelah kelahiran, karena tumbuhnya gigi permanen dimulai pada umur 6 tahun6.
2.3.2 Kebiasaan menghisap jari atau jempol
Anak-anak biasanya mulai menghisap jempol pada usia 3 tahun – 4 tahun. Hal ini dikarenakan pada umur ini anak tidak mendapatkan ASI dari ibu sehingga mencari pengganti. Arah aplikasi tekanan terhadap gigi selama menghisap jempol dapat menyebabkan insisif maksila terdorong ke labial, sementara otot bukal mendesak segmen leteral dari lengkung dental. Hal ini menyebabkan kondisi protrusi pada anak6.
2.3.3 Bernafas lewat mulut
Kebiasaan ini biasanya terjadi karena gangguan saluran nafas yaitu hidung. Gangguan ini menyebabkan anak merasa nyaman bernafas melalui mulut. Kebiasaan ini menyebabkan lengkung gigi dan rahang menyempit serta cembung ke arah anterior sehingga terjadi keadaan protrusi6.
2.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ortodontik dibagi tiga bagian perawatan yaitu (1) perawatan preventif yang dilakukan pada saat terlihat adanya kondisi abnormal yang terlihat pada mulut; (2) perawatan korektif yang dilakukan pada saat indikasi dan manifestasi maloklusi sudah nampak; (3) pemeliharaan pasca perawatan yang dilakukan untuk mencegah relaps pada perawatan9.
2.4.1 Perawatan preventif
Perawatan preventif dilakukan pada saat kondisi abnormal pada mulut mulai terlihat. Hal yang terpenting adalah kesadaran dari orang tua jika beberapa hal abnormal terjadi dan edukasi orang tua untuk mencegah berlanjutnya kebiasaan buruk yang terjadi pada anak.
Anak membutuhkan latihan bagaimana bernafas dengan normal meskipun tidak ada malformasi jaringan seperti deformasi tulang rahang, bibir atas yang pendek dan bibir bawah yang tidak berfungsi dengan baik. Anak-anak dengan kebiasaan bernafas melalui mulut dapat dicegah dengan pemakaian oral screen. Kondisi bernafas lewat mulut harus diketahui faktor penyebabnya sehingga kebiasaan ini bisa dihentikan9,10.
2.4.2 Perawatan korektif
Perawatan korektif pada kelainan protrusi bimaksiler didasarkan pada analisis lengkap yang dilakukan sesuai dengan kondisi dan detail maloklusi yang ada. Perawatan dilakukan berdasarkan analisis sefalometri, dental x-ray, foto, dan model studi. Secara garis besar tujuan perawatan protrusi bimaksiler adalah untuk; meluruskan lengkung, mengkoreksi rotasi, meretraksi dan meluruskan gigi anterior, memelihara hubungan klas I kaninus dan molar dengan penjangkaran yang maksimal, mendapatkan tuntunan kaninus dan molar, mendapatkan garis tengah dental dan fasial, mendapatkan overbite dan overjet yang sesuai, meningkatakan kondisi gingiva, meningkatkan profil keseimbangan dan estetis wajah5,8,11. Alternatif perawatan pada kondisi protrusi bimaksiler terdiri dari perawatan ortodontik, perawatan kombinasi (bedah ortognatik dan ortodontik) dan bedah ortognatik.
A. Perawatan ortodontik
Pilihan perawatan ini membutuhkan tingkat kooperatif yang tinggi dari pasien. Rencana perawatannya termasuk pencabutan premolar pertama rahang atas dan rahang bawah selanjutnya dipasangkan alat ortodontik. Perawatan dengan cara ortodontik pada kasus protrusi bimaksiler bisa mendapatkan hasil yang maksimal jika; (a) hubungan skeletal normal-jika hubungan skeletal tidak normal maka kombinasi perawatan bedah ortognati dan perawatan ortodontik seharusnya dilakukan untuk mendapatkan hasil perawatan yang maksimal, (b) pola wajah yang umum, (c) orang dewasa dengan kemungkinan pertumbuhan yang kecil12.
Perawatan ortodontik ini memerlukan komunikasi dengan pasien untuk mengurangi resiko yang lebih buruk dan untuk mencegah relapsnya perawatan. Selain itu, faktor penyebab yang terjadi harus dihentikan seperti menghisap jari dan bernafas lewat mulut sehingga tidak terjadi relaps12.
B. Kombinasi bedah ortognatik dan ortodontik
Perawatan ortodontik sering menimbulkan banyak kelemahan, terutama pada pasien dengan permasalahan jaringan periodontal. Perawatan ortodontik biasanya memerlukan penutupan space dari gigi yang diekstrasi yang menyebabkan resorbsi tulang dan akar gigi. Sebagai konsekuensinya klinisi biasanya mengurangi waktu perawatan yang lama atau pergerakan gigi yang sulit dengan tujuan untuk mengurangi resiko diatas. Salah satu jalan untuk mengurangi resiko diatas adalah menggunakan segmental osteotomi. Prosedur ini akan mengurangi pergerakan gigi dan mengurangi waktu perawatan, namun perawatan bedah juga menimbulkan resiko kehilangan vitalitas gigi14.
Kombinasi bedah dan perawatan ortodontik dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu (1) menggunakan osteotomi segmental maksila dan mandibula untuk meretraksi gigi dan perawatan ortodontik untuk koreksi maloklusi ringan (2) menggunakan perawatan ortodontik untuk meluruskan dan meretraksi lengkung mandibula dan melanjutkan osteotomi untuk meretraksi gigi rahang atas13.
Hal lain yang bisa dilakukan dengan kombinasi kedua perawatan ini adalah menghilangkan premolar rahang atas dan rahang bawah. Perawatan ortodontik dengan kasus yang lebih sulit memerlukan kortikotomi - perawatan ortodontik yang difasilitasi untuk pergerakan blok tulang dengan gigi. Kortikotomi dilakukan untuk mengurangi suatu blok tulang sekitar anterior rahang atas dan meretraksi anterior rahang bawah dengan segmental osteotomi dibawah anestesi. Menggunakan retraktor lingual C dan plate C pada maksila sebagai penjangkaran cekat8,14.
Selama perawatan aktif kortikotomi tidak terdapat kerusakan periodontal, seperti resesi gingiva atau hilangnya vitalitas gigi, sedangkan pada pemeriksaan sefalogram tidak terdapat kerusakan tulang alveolar serta resorbsi tulang dengan perawatan. Perawatan ortodontik dengan kortikotomi memperpendek masa perawatan. Berdasarkan penelitian sebelumnya waktu total perawatan ortodontik dengan kortikotomi hanya sepertiga atau seperempat waktu dibanding dengan ortodontik konvensional8.
Kecepatan pergerakan gigi berhubungan dengan metabolisme dan densitas tulang. Pergerakan gigi remaja lebih cepat dibanding dengan dewasa serta lebih responsif karena tingkat mediator pada usia muda lebih cepat dibanding orang dewasa pada pergerakan awal gigi. Osteoklas dan osteoblas meningkat setelah fraktur dan bedah seperti osteotomi, bone grafting dan bone healing yang terakselerasi. Kortikotomi, perawatan ortodontik terfasilitasi dengan titanium mini plates dapat menjadi metode efektif untuk penjangkaran maksimal pada pasien dewasa yang menginginkan perawatan ortodontik yang cepat8.
Dengan perkembangan teknik bedah ortognatik, pasien dengan protrusi bimaksiler dapat diuntungkan dengan kombinasi dari bedah dan perawatan ortodontik. Keuntungan utama pendekatan ini adalah; a. Segmen anterior dapat direposisi secara vertikal dan horizontal ketika dilakukan bedah. b. Keharusan dari tingkat kooperatif pasien bisa dikurangi c. Waktu yang diperlukan dalam seluruh perawatan bisa dikurangi. d. Kestabilan oklusi setelah perawatan bisa tercapai e. Augmentasi genioplasti dapat dilakukan bersamaan dengan retraksi13.
C. Bedah ortognatik
Bedah diperlukan berdasar analisis dasar dari wajah dan derajat protrusi. Prosedur bedah ortognati meliputi menghilangkan keempat gigi premolar dan melakukan anterior segmental osteotomi pada kedua lengkung untuk mempengaruhi retraksi secara bedah dibawah anestesi umum. Umur ideal untuk dilaksanakannya bedah ortognatik adalah setelah periode pertumbuhan selasai. Periode pertumbuhan selesai yaitu umur 18 tahun untuk perempuan dan umur 20 tahun untuk laki-laki10.
Bedah ortognati diperlukan pada kondisi10 :
a. Secara analisis, protrusi terjadi oleh karena tulang alveolar (tipe skeletal)
b. Kondisi gingiva yang tidak memungkinkan untuk dilakukan perawatan ortodontik biasa.
c. Jika protrusi harus terkoreksi dalam jangka waktu yang singkat
d. Derajat protrusi lebih dari 4mm
e. Gingiva yang terlihat terlalu banyak pada saat tersenyum.
Bedah untuk protrusi bimaksiler sering disebut dengan ASO (Anterior Segmental Osteotomy). Bedah ASO termasuk ekstraksi gigi yang lebih posterior dari kaninus, tulang alveolar pada spasia ini dihilangkan dan secara keseluruhan tulang alveolar dan giginya diretraksi13.
Teknik bedah untuk protrusi bimaksiler yang lain adalah two-jaw surgery. Teknik bedah ini dilakukan jika bedah ASO tidak bisa dilaksanakan karena ekstraksi gigi dilakukan pada usia muda, dan derajat protrusi gigi tidak terlalu parah. Teknik ini merupakan prosedur bedah yang dilakukan pada maksila untuk memperpendek sehingga dapat mengkoreksi protrusi maksila. Metode ini juga untuk mengkoreksi kelebihan sisi vertikal maksila, gummy smile atau sebagian besar gingiva terlihat saat tersenyum. Insisi dilakukan didalam mulut kemudian maksila diturunkan dan kelebihan tulang dihilangkan. Setelah reposisi rahang, tulang rahang disatukan dan disambung dengan kawat dan dijahit dengan benang absorbable. Alasan lain untuk melakukan bedah dengan teknik ini yaitu ketika rahang bawah protrusi dan wajah yang panjang15.
2.4.3 Pemeliharaan pasca perawatan
Pada penatalaksanaan pasien dengan protrusi bimaksiler, setelah fase perawatan aktif korektif, maka tahapan selanjutnya adalah pemeliharaan post perawatan atau fase pasif retentive. Setelah koreksi maloklusi dilakukan sesuai dengan rencana perawatannya, maka untuk mencegah terjadinya relaps dibutuhkan waktu untuk fase pasif retentive. Penggunaan alat dan jenis serta lama waktunya tergantung pada jenis perawatan yang dilakukan. Pada perawatan ortodontik tunggal dibutuhkan alat retainer yang dipakai minimal 6 bulan dan selanjutnya dilakukan evaluasi untuk memastikan keseluruhan perawatan telah selesai. Pada perawatan dengan bedah ortognatik waktu pemeliharaan adalah waktu yang diperlukan sampai proses healing selesai minimal 6 bulan 2,14,16.
3 KESIMPULAN
1. Protrusi bimaksiler merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan bertambahnya inklinasi insisif rahang atas dan rahang bawah.
2. Perawatan pada protrusi bimaksiler antara lain perawatan ortodonti, kombinasi bedah ortognati dan ortodonsi, dan perawatan bedah ortognati.
DAFTAR PUSTAKA
1. Min KS, Jae HK, Jin HC, et al. What determines dental protrusion or crowding while both malocclusions are caused by large tooth size?. Korean J Orthod 2009;39:330-36.
2. Al-moddather M, El-hadidy. Premolar maxillary set back osteotomy: long term result the department of plastic surgery unit. Egypt, J. Plast. Reconstr. Surg 2005; 29: 105-11.
3. Hariyanto E. Rapikan Susunan Gigi Anda. http://fkg-unhas.blogspot.com/2008/12/rapikan-susunan-gigi-anda.html. 2008. [27 Maret 2010:19.45]
4. Ouyang L, Zhou Y, Fu M, et al. Case report extraction treatment of an adult patient with severe bialveolar dentoalveolar protrusion using microscrew anchorage. Chin Med J 2007;120:1732-36.
5. Alam MK. Bimaxillary proclination with spacing: treatment for esthetic improvement. Bangladesh Journal Of Medical Science 2009;8:129-34.
6. Ardhana W. Diagnosis Orthodontik.Jogjakarta, Fakultas Kedokteran Gigi UGM. 2010.
7. Sheikh A dan Ijaz A. Lip morphology in bimaxillary dentoalveolar protrusion in class I and class II adults. Pakistan Oral & Dental Journal 2009;29:261-68.
8. Lino S, Sakoda S, Miyawaki S. An adult bimaxillary protrusion treated with corticotomy facilitated orthodontics and titanium miniplates. Angle Orthodontist 2006;76:1074-82.
9. Salzmann JA. Orthodontics principles and prevention. London, J.B Lippincott Company. 1957.
10. Strang L dan Thompson M. Text book of orthodontic. Toronto, C.V. Mosby.1979
11. Seong HK, Kye-BL, Kyu RC et al. Severe bimaxillary protrusion with adult periodontitis treated by corticotomy and compression osteogenesis. Korean J Orthod 2009;39(1):54-65.
12. Hui CC, Si HL, Hong PC.Orthodontic treatment of bimaxillary protrusion using traditional anchorage control. J. Taiwan Assoc. Orthod. 2005; 17:44-50
13. Yan SW, Chan SK, Wong WKR. Treatment of bimaxillary protrusion by combined surgico-orthodontic approach case report. Hong Kong. Int J 2006; 9: 94-100
14. Uribe F dan Nanda R. Treatment of bimaxillary protrusion using fiber-reinforced composite. Journal of Clinical Orthodontic 2007;41(1):27-32.
15. Ben CAU dan Alfred LAU. The Planning of Orthognathic Surgery -The Digital Era. Dental Buletin. The Hongkong Medical Diary 2009;14:11-14
16. De Leon EJG. Treatment of class I bimaxillary protrusion.The Philippine Journal Of Orthodontics 2005;(1):1-6.
ABSES FOSSA KANINUS
1. PENDAHULUAN
Rongga mulut merupakan tempat berkembang biaknya berbagai macam mikroorganisme. Mikroorganisme yang secara normal ada dalam rongga mulut ini dapat mengakibatkan infeksi apabila, (1) sifat mikroorganisme tersebut berubah, baik kualitas maupun kuantitasnya, (2) mukosa mulut dan pulpa gigi terpenetrasi, (3) sistem kekebalan tubuh dan pertahanan seluler terganggu, atau kombinasi dari hal-hal tersebut diatas (Pedersen, 1996:191).
Infeksi merupakan suatu proses yang melibatkan proliferasi mikroorganisme yang menimbulkan reaksi pertahanan tubuh, yaitu suatu proses yang disebut inflamasi. Inflamasi adalah reaksi vaskular yang hasilnya merupakan
pengiriman cairan, zat-zat terlarut dan sel-sel darah dari darah yang
bersirkulasi kedalam jaringan interstitial pada daerah yang cedera atau yang
mengalami nekrotik. Inflamasi akut adalah reaksi segera dari tubuh terhadap
cedera atau kematian sel. Tanda tanda pokok peradangan adalah dolor (rasa
sakit), rubor (merah), calor (panas), tumor (pembengkakan) dan fungsio laesa
(perubahan fungsi) (Fragiskos, 2007:205).
2. INFEKSI ODONTOGEN
Infeksi yang bermanifestasi di daerah orofasial mayoritas (90-95%) adalah infeksi odontogen (Fragiskos, 2007:205).
2.1 Etiologi
Infeksi odontogen adalah infeksi yang bersifat polimikrobial yang disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut, yaitu bakteri dalam plak, dalam sulkus gingival, dan mukosa mulut. Etiologi tersering adalah bakteri kokus aerob gram positif (Streptococcus), kokus anaerob gram positif (Peptostreptococcus, Peptococcus), dan batang anaerob gram negatif (Bacteroides, Fusobacterium). Bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan periodontitis. Jika bakteri mencapai jaringan yang lebih dalam melalui nekrosis pulpa dan poket periodontal dalam, maka akan terjadi infeksi odontogen (Pedersen, 1996 :192 dan Lopez-Piris dkk., 2007:E155).
2.2 Penyebaran Infeksi
Infeksi dapat menyebar dari fokus infeksi melalui tiga cara yaitu; (1) secara perkontinyuatum melalui spasia-spasia; (2) melalui sistem limfatik; dan (3) melalui sirkulasi darah. Rute paling umum penyebaran infeksi adalah melalui spasia-spasia (Fragiskos, 2007:207).
Pada tahap seluler, tergantung pada perjalanan dan tempat inokulasi pus, abses dentoalveolar akut bisa mempunyai bermacam-macam gambaran klinis. Pada awal fase seluler ditandai dengan akumulasi pus di tulang alveolar yang dinamakan intraalveoler abses. Pus akan menyebar keluar setelah menembus tulang menyebar ke spasia periosteal dimana terdapat akumulasi pus antara tulang dan periosteum. Setelah menempus periosteum pus akan menyebar ke berbagai macam arah tergantung pada; (1) posisi gigi dalam lengkung; (2) ketebalan tulang; (3) jarak tempuh. Panjang akar hubungannya dengan apeks dan perlekatan berbagai otot juga berperan penting dalam penyebaran pus (Fragiskos,200:208).
Pada rahang atas jika tempat perforasi pus pada akar palatal gigi posterior atas dan gigi insisivus kedua, pus biasanya akan menyebar ke arah palatal. Inflamasi terkadang menyebar sampai sinus maxilaris yang terjadi ketika ujung akar gigi posterior berada didalam atau dekat dasar antrum (Fragiskos, 2007: 208). Pada rahang atas perlekatan muskulus bucinnator sangat penting. Ketika ujung akar premolar dan molar berada dibawah perlekatan otot buccinator, pus akan menyebar secara intraoral,dan jika ujung akar berada diatas perlekatan maka infeksi menyebar keatas dan secara ekstraoral (Fragiskos, 2007:208). Selain itu penyebaran infeksi yang timbul di regio maksiler biasanya melibatkan fossa kaninus dan regio periorbital.
Pada rahang bawah, infeksi dari insisif dan kaninus menyebar secara bukal atau pun lingual tergantung ketebalan tulang alveolar pada daerah tersebut. Biasanya pus akan terlokalisir kearah bukal jika ujung akar berada diatas perlekatan muskulus mental, walaupun terkadang pus menyebar secara ekstraoral ketika ujung akar berada dibawah perlekatan muskulus tersebut. Jika keluarnya pus dari akar yang berada diatas otot mylohyoid akan menyebar secar intraoral di spasia sublingual. Sedangkan pada gigi molar dan premolar jika ujung akar tempat pus keluar berada dibawah perlekatan otot buccinator maka pus akan menyebar kearah bukal atau secara ekstraoral dan jika ujung akar berada diatas perlekatan maka infeksi menyebar secara intraoral. Jika ujung akar berada dibawah otot mylohyoid (untuk molar satu dan dua) maka pus akan menyebar ke spasia submandibular yang berakibat manifestasi ekstraoral (Fragiskos, 2007: 207-208).
Gambar 1. Arah penyebaran infeksi odontogen
3. ABSES FOSSA KANINUS
3.1 Anatomi
Fossa kaninus adalah spasia kecil diantara otot levator labii superior dan levator anguli oris (Fragiskos, 2007:220). Abses ini merupakan perluasan infeksi yang berasal dari gigi kaninus atas atau kadang-kadang dari gigi premolar dan insisif. Dalam pengertian klinis cukup penting karena berhubungan dengan sinus cavernosus melalui vena-vena fasialis, angularis, dan opthalmika (Pederson, 1996: 197).
Gambar 2. Lingkaran putih menunjukkan daerah fossa kaninus
3.2 Gambaran klinis
Suatu abses adalah infeksi akut yang terlokalisir dan manifestasinya berupa keradangan, pembengkakan yang nyeri jika ditekan atau kerusakan jaringan setempat (Pedersen, 1996:203). Abses ini menunjukkan adanya edeme yang terlokalisir pada daerah infraorbital yang menyebar ke medial kantong mata, kelopak mata bawah, dan sisi tepi hidung sepanjang sudut mulut. Telihat juga hilangnya lipatan nasolabial dan terkadang lipatan mukobukal. Edema pada daerah infraorbital terasa sakit saat dilakukan palpasi dan kemudian kulit menjadi tegang dan mengkilat karena supurasi, sementara warna terlihat kemerahan (Fragiskos, 2007:222).
Gambar 3. Foto klinis penderita abses fossa kaninus
3.3 Penatalaksanaan
Perawatan abses odontogenik akut dapat dilakukan secara lokal atau sistemik. Perawatan lokal meliputi irigasi, aspirasi, insisi dan drainase, sedangkan perawatan sistemik terdiri atas pengobatan untuk menghilangklan rasa sakit, terapi antibiotik dan terapi pendukung (Pederson, 1996:203).
Insisi untuk drainase dilakukan secara intraoral pada lipatan mukobukal (paralel dengan tulang alveolar) pada regio kaninus (Gambar 4b). Anastesi dilakukan ekstraoral didekat foramen infraorbital (Gambar 4a) (Sailer dan Pajarola, 1999: 155). Suatu hemostat kemudian dimasukkan sedalam mungkin pada akumulasi pus sampai bersentuhan dengan tulang (Gambar 4c). Sementara itu jari telunjuk pada tangan satunya melakukan palpasi di margin infraorbital. Akhirnya suatu rubber drain ditempatkan dan dijahit pada mukusa untuk menstabilkannya (Gambar 4d) (Fragiskos, 2007: 222).
Gambar 4(a,b,c,d). Rangkaian insisi dan drainase pasien abses fossa kaninus
Apabila memungkinkan sebaiknya pemilihan obat didasarkan pada hasil smear atau pewarnaan garam, kultur dan tes sensitivitas. Antibiotik yang dipilih diresepkan dengan dosis yang adekuat dan jangka waktu yang memadai (Pedersen, 1996:198).
Penisilin adalah antibiotik yang paling sering digunakan pada infeksi odontogen, baik yang alami maupun semisintesis. Antibiotik ini mempunyai aktifitas bakteriosid yang luas dan bekerja dengan cara mengganggu pembentukan dan keutuhan dinding sel bakteri (Pederson,1996: 198).
Radiasi dan indurasi yang sangat sakit pada sudut medial orbital mengindikasikan adanya kemungkinana infeksi melaui vena angular. Infeksi ini dapat menyebar melalui vena ini menuju sinus cavernosus (Sailer dan Pajarola,1999: 155).
4. TROMBOSIS SINUS CAVERNOSUS
Anatomi sinus cavernosus berada di tulang sphenoideus. Setiap vena sinus cavernosus berhubungan dengan sinus cavernosus di sisi wajah yang lain, pleksus pterigoideus, vena superior ophtalmikus yang beranastomosis dengan vena fasialis (Gambar 5) (Fehrenbach dan Henring, 1997:16).
Gambar 5. Jalur vena fasialis dan letak sinus cavernosus
Infeksi pada abses fossa kaninus jika tidak dilakukan perawatan dapat mengakibatkan penyebaran infeksi ke sinus cavernosus. Hal ini meningkatkan kemungkinan masuknya organisme dan toksin dari daerah yang terinfeksi ke dalam sirkulasi darah. Di lain pihak, infeksi dan inflamasi pada fossa kaninus juga akan semakin meningkatkan aliran darah yang selanjutnya menyebabkan semakin banyaknya organisme dan toksin masuk ke dalam pembuluh darah. Vena-vena fasialis anterior yang terinfeksi berhubungan dengan sinus kavernosus melalui pleksus vena ophtalmikus. Karena perubahan tekanan dan edema menyebabkan penyempitan pembuluh vena dan karena vena pada daerah ini tidak berkatup, maka aliran darah di dalamnya dapat berlangsung dua arah yang memungkinkan penyebaran infeksi langsung dari fokus infeksi di dalam mulut ke kepala atau faring sebelum tubuh mampu membentuk respon perlawanan terhadap infeksi tersebut (Odel, 2005:197 dan Fehrenbach dan Henring, 1997:16).
Tanda dan gejala yang dirasakan oleh penderita trombosis sinus cavernosus adalah rasa sakit okular. Edeme periorbital dan konjungtiva, bola mata menonjol, pembengkakan kornea, dan perdarahan retina. Keterlibatan syaraf-syaraf kranial: n. Opthtalmikus, n. Troclearis, dan abducens akan mengakibatkan paralisis, dilatasi pupil dan hilangnya reflek kornea. Demam dengan fluktuasi tinggi, gemetar, dengan denyut nadi cepat dan berkeringat. Sakit kepala, demam, leher terasa kaku , muntah, kejang-kejang konfulsi, menurunnya kesadaran hingga koma (Pedersen, 1996:217-218).
Gambar 6. Foto klinis penderita trombosis sinus cavernosus
Terapi utama trombosis sinus cavernosus adalah pemberian antibiotik secara agresif. Terapi antibiotik idealnya dimulai setelah dilakukan kultur, namun antibiotik harus segera diberikan sambil menunggu hasil dari pemeriksaan spesimen. Antibiotik yang dipilih sebaiknya berspektrum luas, utamanya yang aktif melawan Staphylococcus aureus dan mampu mencapai level tinggi di cairan cerebrospinal. Antibiotik yang dipilih bisa penisilin-anti penisilinase dan generasi ketiga atau keempat dari cephalosporin. Pemberian antibiotik dilakukan secara intravena minimal 3-4 minggu (Sharma dan Bessman, 2009 dan Pedersen, 1996:218).
Penggunaan antikoagulan pada kondisi ini masih menjadi kontroversi, karena kejadian sindrom ini jarang dan tidak ada percobaan prospektif yang telah dilakukan dalam penggunaan antikoagulan. Meskipun demikian, penggunaan antikoagulan dengan heparin dapat dipertimbangkan jika tujuan nya adalah untuk mencegah berlanjutnya trombosis dan mengurangi kejadian emboli septik (Sharma dan Bessman, 2009).
Tindakan bedah pada sinus cavernosus secara teknis sulit dan tidak terlihat membantu. Yang terpenting pada terapi lokal adalah menghilangkan penyebab utama infeksi, jika dalam kasus ini trombosis sinus cavernosus terjadi sebagai penyebaran lebih lanjut dari infeksi di fossa kaninus, maka pelaksanaan insisi dan drainase di fossa kaninus sebaiknya dilakukan (Sharma dan Bessman, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Fehrenbach, M.J. dan Herring, S.W. 1997. Spread of Dental Infection. The Journal of Practical Hygiene September/Oktober 1997.
Fragiskos, F.D. 2007. Oral Surgery. Heidelberg : Springer.
Lopez-Piriz, R., dkk.2007. Management of Odontogenic Infection of Pulpal and Periodontal Origin. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2007;12:E154-9.
Odell, E.W.2005.Clinical Problem Solving in Dentistry. Philadelphia:Elsevier.
Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih Bahasa : Purwanti dan Basoeseno.” Oral Surgery 1st ed”. Jakarta : EGC.
Sailer, H.F. dan Parajola, G.F.1999.Oral Surgery for General Dentist. New York :Thieme.
Sharma, R. Dan Bessman, E. 2009. Cavernous Sinus Thrombosis: Treatment & Medication. http://emedicine.medscape.com/article/791704-treatment [17 Januari 2010].
Rongga mulut merupakan tempat berkembang biaknya berbagai macam mikroorganisme. Mikroorganisme yang secara normal ada dalam rongga mulut ini dapat mengakibatkan infeksi apabila, (1) sifat mikroorganisme tersebut berubah, baik kualitas maupun kuantitasnya, (2) mukosa mulut dan pulpa gigi terpenetrasi, (3) sistem kekebalan tubuh dan pertahanan seluler terganggu, atau kombinasi dari hal-hal tersebut diatas (Pedersen, 1996:191).
Infeksi merupakan suatu proses yang melibatkan proliferasi mikroorganisme yang menimbulkan reaksi pertahanan tubuh, yaitu suatu proses yang disebut inflamasi. Inflamasi adalah reaksi vaskular yang hasilnya merupakan
pengiriman cairan, zat-zat terlarut dan sel-sel darah dari darah yang
bersirkulasi kedalam jaringan interstitial pada daerah yang cedera atau yang
mengalami nekrotik. Inflamasi akut adalah reaksi segera dari tubuh terhadap
cedera atau kematian sel. Tanda tanda pokok peradangan adalah dolor (rasa
sakit), rubor (merah), calor (panas), tumor (pembengkakan) dan fungsio laesa
(perubahan fungsi) (Fragiskos, 2007:205).
2. INFEKSI ODONTOGEN
Infeksi yang bermanifestasi di daerah orofasial mayoritas (90-95%) adalah infeksi odontogen (Fragiskos, 2007:205).
2.1 Etiologi
Infeksi odontogen adalah infeksi yang bersifat polimikrobial yang disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut, yaitu bakteri dalam plak, dalam sulkus gingival, dan mukosa mulut. Etiologi tersering adalah bakteri kokus aerob gram positif (Streptococcus), kokus anaerob gram positif (Peptostreptococcus, Peptococcus), dan batang anaerob gram negatif (Bacteroides, Fusobacterium). Bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan periodontitis. Jika bakteri mencapai jaringan yang lebih dalam melalui nekrosis pulpa dan poket periodontal dalam, maka akan terjadi infeksi odontogen (Pedersen, 1996 :192 dan Lopez-Piris dkk., 2007:E155).
2.2 Penyebaran Infeksi
Infeksi dapat menyebar dari fokus infeksi melalui tiga cara yaitu; (1) secara perkontinyuatum melalui spasia-spasia; (2) melalui sistem limfatik; dan (3) melalui sirkulasi darah. Rute paling umum penyebaran infeksi adalah melalui spasia-spasia (Fragiskos, 2007:207).
Pada tahap seluler, tergantung pada perjalanan dan tempat inokulasi pus, abses dentoalveolar akut bisa mempunyai bermacam-macam gambaran klinis. Pada awal fase seluler ditandai dengan akumulasi pus di tulang alveolar yang dinamakan intraalveoler abses. Pus akan menyebar keluar setelah menembus tulang menyebar ke spasia periosteal dimana terdapat akumulasi pus antara tulang dan periosteum. Setelah menempus periosteum pus akan menyebar ke berbagai macam arah tergantung pada; (1) posisi gigi dalam lengkung; (2) ketebalan tulang; (3) jarak tempuh. Panjang akar hubungannya dengan apeks dan perlekatan berbagai otot juga berperan penting dalam penyebaran pus (Fragiskos,200:208).
Pada rahang atas jika tempat perforasi pus pada akar palatal gigi posterior atas dan gigi insisivus kedua, pus biasanya akan menyebar ke arah palatal. Inflamasi terkadang menyebar sampai sinus maxilaris yang terjadi ketika ujung akar gigi posterior berada didalam atau dekat dasar antrum (Fragiskos, 2007: 208). Pada rahang atas perlekatan muskulus bucinnator sangat penting. Ketika ujung akar premolar dan molar berada dibawah perlekatan otot buccinator, pus akan menyebar secara intraoral,dan jika ujung akar berada diatas perlekatan maka infeksi menyebar keatas dan secara ekstraoral (Fragiskos, 2007:208). Selain itu penyebaran infeksi yang timbul di regio maksiler biasanya melibatkan fossa kaninus dan regio periorbital.
Pada rahang bawah, infeksi dari insisif dan kaninus menyebar secara bukal atau pun lingual tergantung ketebalan tulang alveolar pada daerah tersebut. Biasanya pus akan terlokalisir kearah bukal jika ujung akar berada diatas perlekatan muskulus mental, walaupun terkadang pus menyebar secara ekstraoral ketika ujung akar berada dibawah perlekatan muskulus tersebut. Jika keluarnya pus dari akar yang berada diatas otot mylohyoid akan menyebar secar intraoral di spasia sublingual. Sedangkan pada gigi molar dan premolar jika ujung akar tempat pus keluar berada dibawah perlekatan otot buccinator maka pus akan menyebar kearah bukal atau secara ekstraoral dan jika ujung akar berada diatas perlekatan maka infeksi menyebar secara intraoral. Jika ujung akar berada dibawah otot mylohyoid (untuk molar satu dan dua) maka pus akan menyebar ke spasia submandibular yang berakibat manifestasi ekstraoral (Fragiskos, 2007: 207-208).
Gambar 1. Arah penyebaran infeksi odontogen
3. ABSES FOSSA KANINUS
3.1 Anatomi
Fossa kaninus adalah spasia kecil diantara otot levator labii superior dan levator anguli oris (Fragiskos, 2007:220). Abses ini merupakan perluasan infeksi yang berasal dari gigi kaninus atas atau kadang-kadang dari gigi premolar dan insisif. Dalam pengertian klinis cukup penting karena berhubungan dengan sinus cavernosus melalui vena-vena fasialis, angularis, dan opthalmika (Pederson, 1996: 197).
Gambar 2. Lingkaran putih menunjukkan daerah fossa kaninus
3.2 Gambaran klinis
Suatu abses adalah infeksi akut yang terlokalisir dan manifestasinya berupa keradangan, pembengkakan yang nyeri jika ditekan atau kerusakan jaringan setempat (Pedersen, 1996:203). Abses ini menunjukkan adanya edeme yang terlokalisir pada daerah infraorbital yang menyebar ke medial kantong mata, kelopak mata bawah, dan sisi tepi hidung sepanjang sudut mulut. Telihat juga hilangnya lipatan nasolabial dan terkadang lipatan mukobukal. Edema pada daerah infraorbital terasa sakit saat dilakukan palpasi dan kemudian kulit menjadi tegang dan mengkilat karena supurasi, sementara warna terlihat kemerahan (Fragiskos, 2007:222).
Gambar 3. Foto klinis penderita abses fossa kaninus
3.3 Penatalaksanaan
Perawatan abses odontogenik akut dapat dilakukan secara lokal atau sistemik. Perawatan lokal meliputi irigasi, aspirasi, insisi dan drainase, sedangkan perawatan sistemik terdiri atas pengobatan untuk menghilangklan rasa sakit, terapi antibiotik dan terapi pendukung (Pederson, 1996:203).
Insisi untuk drainase dilakukan secara intraoral pada lipatan mukobukal (paralel dengan tulang alveolar) pada regio kaninus (Gambar 4b). Anastesi dilakukan ekstraoral didekat foramen infraorbital (Gambar 4a) (Sailer dan Pajarola, 1999: 155). Suatu hemostat kemudian dimasukkan sedalam mungkin pada akumulasi pus sampai bersentuhan dengan tulang (Gambar 4c). Sementara itu jari telunjuk pada tangan satunya melakukan palpasi di margin infraorbital. Akhirnya suatu rubber drain ditempatkan dan dijahit pada mukusa untuk menstabilkannya (Gambar 4d) (Fragiskos, 2007: 222).
Gambar 4(a,b,c,d). Rangkaian insisi dan drainase pasien abses fossa kaninus
Apabila memungkinkan sebaiknya pemilihan obat didasarkan pada hasil smear atau pewarnaan garam, kultur dan tes sensitivitas. Antibiotik yang dipilih diresepkan dengan dosis yang adekuat dan jangka waktu yang memadai (Pedersen, 1996:198).
Penisilin adalah antibiotik yang paling sering digunakan pada infeksi odontogen, baik yang alami maupun semisintesis. Antibiotik ini mempunyai aktifitas bakteriosid yang luas dan bekerja dengan cara mengganggu pembentukan dan keutuhan dinding sel bakteri (Pederson,1996: 198).
Radiasi dan indurasi yang sangat sakit pada sudut medial orbital mengindikasikan adanya kemungkinana infeksi melaui vena angular. Infeksi ini dapat menyebar melalui vena ini menuju sinus cavernosus (Sailer dan Pajarola,1999: 155).
4. TROMBOSIS SINUS CAVERNOSUS
Anatomi sinus cavernosus berada di tulang sphenoideus. Setiap vena sinus cavernosus berhubungan dengan sinus cavernosus di sisi wajah yang lain, pleksus pterigoideus, vena superior ophtalmikus yang beranastomosis dengan vena fasialis (Gambar 5) (Fehrenbach dan Henring, 1997:16).
Gambar 5. Jalur vena fasialis dan letak sinus cavernosus
Infeksi pada abses fossa kaninus jika tidak dilakukan perawatan dapat mengakibatkan penyebaran infeksi ke sinus cavernosus. Hal ini meningkatkan kemungkinan masuknya organisme dan toksin dari daerah yang terinfeksi ke dalam sirkulasi darah. Di lain pihak, infeksi dan inflamasi pada fossa kaninus juga akan semakin meningkatkan aliran darah yang selanjutnya menyebabkan semakin banyaknya organisme dan toksin masuk ke dalam pembuluh darah. Vena-vena fasialis anterior yang terinfeksi berhubungan dengan sinus kavernosus melalui pleksus vena ophtalmikus. Karena perubahan tekanan dan edema menyebabkan penyempitan pembuluh vena dan karena vena pada daerah ini tidak berkatup, maka aliran darah di dalamnya dapat berlangsung dua arah yang memungkinkan penyebaran infeksi langsung dari fokus infeksi di dalam mulut ke kepala atau faring sebelum tubuh mampu membentuk respon perlawanan terhadap infeksi tersebut (Odel, 2005:197 dan Fehrenbach dan Henring, 1997:16).
Tanda dan gejala yang dirasakan oleh penderita trombosis sinus cavernosus adalah rasa sakit okular. Edeme periorbital dan konjungtiva, bola mata menonjol, pembengkakan kornea, dan perdarahan retina. Keterlibatan syaraf-syaraf kranial: n. Opthtalmikus, n. Troclearis, dan abducens akan mengakibatkan paralisis, dilatasi pupil dan hilangnya reflek kornea. Demam dengan fluktuasi tinggi, gemetar, dengan denyut nadi cepat dan berkeringat. Sakit kepala, demam, leher terasa kaku , muntah, kejang-kejang konfulsi, menurunnya kesadaran hingga koma (Pedersen, 1996:217-218).
Gambar 6. Foto klinis penderita trombosis sinus cavernosus
Terapi utama trombosis sinus cavernosus adalah pemberian antibiotik secara agresif. Terapi antibiotik idealnya dimulai setelah dilakukan kultur, namun antibiotik harus segera diberikan sambil menunggu hasil dari pemeriksaan spesimen. Antibiotik yang dipilih sebaiknya berspektrum luas, utamanya yang aktif melawan Staphylococcus aureus dan mampu mencapai level tinggi di cairan cerebrospinal. Antibiotik yang dipilih bisa penisilin-anti penisilinase dan generasi ketiga atau keempat dari cephalosporin. Pemberian antibiotik dilakukan secara intravena minimal 3-4 minggu (Sharma dan Bessman, 2009 dan Pedersen, 1996:218).
Penggunaan antikoagulan pada kondisi ini masih menjadi kontroversi, karena kejadian sindrom ini jarang dan tidak ada percobaan prospektif yang telah dilakukan dalam penggunaan antikoagulan. Meskipun demikian, penggunaan antikoagulan dengan heparin dapat dipertimbangkan jika tujuan nya adalah untuk mencegah berlanjutnya trombosis dan mengurangi kejadian emboli septik (Sharma dan Bessman, 2009).
Tindakan bedah pada sinus cavernosus secara teknis sulit dan tidak terlihat membantu. Yang terpenting pada terapi lokal adalah menghilangkan penyebab utama infeksi, jika dalam kasus ini trombosis sinus cavernosus terjadi sebagai penyebaran lebih lanjut dari infeksi di fossa kaninus, maka pelaksanaan insisi dan drainase di fossa kaninus sebaiknya dilakukan (Sharma dan Bessman, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Fehrenbach, M.J. dan Herring, S.W. 1997. Spread of Dental Infection. The Journal of Practical Hygiene September/Oktober 1997.
Fragiskos, F.D. 2007. Oral Surgery. Heidelberg : Springer.
Lopez-Piriz, R., dkk.2007. Management of Odontogenic Infection of Pulpal and Periodontal Origin. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2007;12:E154-9.
Odell, E.W.2005.Clinical Problem Solving in Dentistry. Philadelphia:Elsevier.
Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih Bahasa : Purwanti dan Basoeseno.” Oral Surgery 1st ed”. Jakarta : EGC.
Sailer, H.F. dan Parajola, G.F.1999.Oral Surgery for General Dentist. New York :Thieme.
Sharma, R. Dan Bessman, E. 2009. Cavernous Sinus Thrombosis: Treatment & Medication. http://emedicine.medscape.com/article/791704-treatment [17 Januari 2010].
Minggu, 05 Juni 2011
PEMBERDAYAAN POTENSI KEBAHARIAN SEBAGAI LANDASAN MASA DEPAN PEMBANGUN PERADABAN BANGSA INDONESIA (Di tulis untuk seleksi Pelayaran Kebangsaan 2008)
I. PENDAHULUAN
Pembangunan peradaban suatu bangsa yang mampu menguatkan identitas pribadi dan menjawab tantangan global di masa depan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Pembangunan peradaban memerlukan kerja keras dan kerja sama semua pihak karena tantangan di masa depan menuntut Indonesia untuk bersaing dengan identitas negaranya dan bertekad untuk memenangkannya.
Membangun peradaban suatu bangsa pada hakikatnya adalah pengembangan kharakter dan watak berdasarkan potensi dan ciri khas bangsa tersebut. Ciri khas dan potensi bangsa Indonesia sebagai negara dengan 2/3 wilayahnnya terdiri dari lautan merupakan kekayaan bangsa yang bisa digali dan diberdayakan untuk kelangsungan bangsa di masa depan.
Keberadaan Indonesia sebagai negara dengan 2/3 lautan membuatnya layak disebut sebagai negara maritim. Indonesia juga merupakan negara dengan panjang garis pantai keempat terbesar sedunia yaitu 95.181 km yang memberikan nilai pesona indah untuk kegiatan pariwisata dan olahraga bahari. Selain itu, letaknya yang ditengah-tengah khatulistiwa memungkinkan segala jenis ikan dan biota laut hidup serta berkembang biak dengan cepat. Sedangkan luas terumbu karang Indonesia adalah 12,95 % luas terumbu karang dunia dan merupakan tumpuan organisme laut untuk bertahan hidup (Anonim, 2007). Keindahan dan keragaman sumber daya laut Indonesia sebagai negara maritim merupakan potensi yang perlu dikembangkan untuk kemajuan peradaban bangsa.
Secara geografis Indonesia berada diantara benua Asia dan Australia dan diantara samudera Hindia dan Pasifik sehingga merupakan negara stategis yang dilalui oleh 95% jalur pelayaran Asia Pasifik. Hal ini merupakan kondisi yang strategis untuk pengembangan sektor perekomian Indonesia sehingga akan berdampak majunya tingkat ekonomi Indonesia.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini selain melakukan pemberdayaan potensi kebaharian dan menjadikannya prioritas strategis dalam kebijakan pembangunan nasional. Pemberdayaan potensi kebaharian Indonesia harus dijadikan landasan dan paradigama utama dalam mempercepat pembangunan peradaban bangsa. Dalam pengembangan kebijakan pemberdayaan potensi kebaharian ini diperlukan tindakan yang berorientasi jelas, dinamis, konstruktif, inovatif dengan wawasan jauh ke depan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui peningkatan mutu sumber daya manusia sebagai subjek penggali potensi bahari, penyediaan sarana dan prasarana penunjang kegiatan kelautan, pengembangan penelitian dan teknologi berbasis kebaharian. Selain itu diperlukan kemudahan sistem permodalan bagi usaha kelautan, peningkatan fungsi Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai penanggung jawab langsung kebijakan pemerintah. dan tentunya peningkatan sistem pertahanan dan keamanan laut.
II. ISI
2.1. Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia Indonesia sebagai Subjek Penggali Potensi Bahari.
Manusia merupakan subjek yang terpenting dalam upaya pemberdayaan potensi bahari Indonesia. Upaya yang dilakukan hendaknya dapat membangun manusia Indonesia yang seutuhnya, bermutu dan peduli terhadap potensi bahari Indonesia sehingga dapat membangun peradaban bangsa. Karena hal terberat yang harus dilalui bangsa ini untuk pemberdayaan potensi baharinya adalah menyiapkan sumber daya manusia yang bermutu dan bermoral dalam mengembangkan potensi laut kita sebagai aset dan modal dalam membangun bangsa menjadi sebuah bangsa yang berperadapan serta mampu bersaing di dunia Internasional.
Kencenderungan sikap dan pemahaman yang masih berkembang di masyarakat Indonesia adalah melihat daratan sebagai satu satunya sumber kehidupan. Hal ini bisa terlihat dari jumlah usaha yang bergerak di bidang kelautan masih rendah dibanding usaha lainnya dan jumlah petani yang lebih besar dari nelayan, bahkan bisa dilihat dari jumlah armada laut dan perwira laut yang jumlahnya lebih kecil dibanding darat. Struktur mental dan pengetahuan seperti ini berakibat pada rendahnya partisipasi rakyat dalam upaya memberdayakan potensi laut yang sangat besar di Indonesia.
Kondisi sumber daya manusia di daerah pesisir sebagai komunitas masyarakat yang berlokasi terdekat dengan lautan juga tidak bisa dikatakan bermutu. Berdasarkan data COREMAP Desember 2001 menunjukkan bahwa dari 4 daerah pesisir yang menjadi daerah binaan, masih terdapat penduduk yang tidak bersekolah bahkan salah satu daerah mencapai angka 12%. Rata rata tingkat pendidikan tertinggi penduduknya adalah sekolah menengah atas dan hanya berjumlah 21%. Sedangkan penduduk yang berpendidikan akademi atau universitas masih sangat sedikit dan bahkan ada desa yang tidak mempunyai penduduk dengan tingkat pendidikan ini (Anonim, 2003).
Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan rendahnya daya serap terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga sering menjadi kendala bagi peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi wilayahnya. Seharusnya, untuk mengelola sumberdaya laut yang kaya dibutuhkan sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai bidangnya, karena pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut membutuhkan penerapan teknologi, mulai dari teknologi yang sederhana sampai teknologi yang canggih.
Untuk mengatasi persoalan peningkatan sumber daya manusia perlu dilakukan upaya peningkatan pendidikan berbasis kebaharian. Hal ini bisa dilakukan dengan pengenalan laut secara lebih mendalam di sekolah sekolah dasar. Diberikannya pengenalan, pemahaman, kesadaran, dan kecintaan anak didik sejak dini terhadap laut dapat meningkatkan semangat jiwa bahari demi terwujudnya generasi muda potensial di bidang kelautan yang nyata dan andal secara praktis.
Pemberian muatan lokal bidang kelautan, pada sekolah-sekolah menengah, terutama di daerah pesisir akan mampu mengasah potensi kecerdasan dan ketrampilan manusia-manusia Indonesia. Dibukanya lebih banyak pendidikan tinggi berbasis kelautan akan memperkuat sumber daya manusia di bidang kelautan. Selain itu, perlu dilakukan peningkatan program pelatihan dan ketrampilan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya laut. Dengan diterapkannya pendidikan serta ketrampilan yang ada diharapkan kedepannya mereka mampu mengelola kekayaan alam laut Indonesia secara handal, efektif dan bermoral, sebagai implikasi dan tuntutan era milenium baru yang terbentang luas di depan.
Pemerataan pendidikan yang berkualitas disemua daerah di Indonesia termasuk daerah daerah pesisir akan membantu terbentuknya sumber daya manusia handal pembangun peradaban bangsa ini. Sekolah sekolah di daerah pesisir seharusnya mendapatkan fasilitas standar untuk menunjang berjalannya kegiatan belajar mengajar. Memberikan fasilitas dan peningkatan mutu pendidikan melalui proses pengajaran serta peran optimal pengajar di semua jenjang pendidikan yang ada dapat mendorong pemberdayaan sektor kelautan yang menjadi landasan pembangunan peradaban bangsa.
Peningkatan pembinaan tersebut harus dilakukan secara terpadu dengan partisipasi aktif masyarakat, pemerintah dan sektor swasta. Rasa tanggung jawab dan kebersamaan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya perlu ditingkatkan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sehingga kedepannya pelaksanaan proses pendidikan di semua jenjang harus dapat mengembangkan kemauan belajar, meningkatkan kreativitas dan inovasi baru, memperdalam dan memperluas pemahaman ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasiskan kebaharian.
2.2. Tersedianya Sarana dan Prasarana Penunjang Kelautan
Dalam upaya pemberdayaan potensi kelautan Indonesia, pembangunan sarana dan prasarana penunjang kegiatan kelautan sangat diperlukan. Tersedianya sarana dan prasarana yang memadai dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, khususnya di sektor kelautan. Minimnya sarana dan prasarana kelautan akan berakibat rendahnya kegiatan eksplorasi laut maupun penelitian kelautan.
Pembangunan sarana dan prasarana di bidang perikanan yang sangat dibutuhkan misalnya pelabuhan perikanan atau tempat pendaratan ikan. Pelabuhan perikanan dan juga tempat pendaratan ikan merupakan pusat pengembangan masyarakat nelayan dan pertumbuhan ekonomi perikanan, pengembangan agribisnis dan agroindustri perikanan. Pusat pelayanan tambat labuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil tangkapan dan hasil budidayaan, tempat pelayanan kegiatan operasi kapal-kapal perikanan, pusat pemasaran dan distribusi perikanan, tempat pengembangan usaha industi perikanan dan pelayan eksport, tempat pelaksanaan pengawasan, penyuluhan dan pengumpulan data. Mengingat fungsi pelabuhan perikanan sangat luas dan memiliki kekhususan, maka keberadaan pelabuhan perikanan harus merupakan wilayah kerja tersendiri dan tidak dapat disatukan dengan pelabuhan umum (Pujiyati, 2001).
Dengan dibangunnya sarana dan prasarana penunjang kelautan yang representatif dan merata disemua wilayah Indonesia berdampak pada peningkatan pemberdayaan potensi bahari. Namun yang perlu diingat adalah pembangunan sarana dan prasarana tersebut harus dilakukan secara transparan, sesuai prosedur yang ada dan berbasiskan kebutuhan.
2.3 Pengembangan Penelitian dan Teknologi Berbasis Kebaharian
Pemberdayaan potensi kebaharian Indonesia untuk membangun peradaban bangsa perlu dipacu melalui berbagai pengembangan penelitian dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peran pengembangan ilmu pengetahun dan teknologi sangat diperlukan karena wilayah laut Indonesia serta kekayaan laut didalamnya sangat besar, sehingga teknologi tradisional tidaklah cukup untuk mendukung pemberdayaannya.
Penguatan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan Indonesia di setiap jenjang sekolah dan pengkajian dalam litbang kelautan di perguruan tinggi akan mampu mendorong pengusahaan sumber daya alam laut Indonesia ditangan putra-putri bangsa. Dengan peralatan yang lebih modern, baik dalam hal armada penangkapan ikan, teknologi pemantauan, teknologi eksplorasi, teknologi pengolahan, teknologi pemetaan laut, serta teknologi pasca panen, kekayaan alam laut Indonesia bisa dimanfaatkan untuk kemakmuran bangsa Indonesia dan tidak dicuri bangsa lain.
Pengembangan ini dapat dilakukan secara bersama-sama antara instansi pemerintah, perguruan tinggi maupun pihak swasta yang bergerak dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan secara menyeluruh. Kerjasama semua pihak ini akan mampu mendorong pemberdayaan potensi bahari Indonesia sebagai landasan peradaban bangsa dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
2.4. Kemudahan Modal Usaha di Bidang Kelautan
Untuk meningkatkan berbagai kegiatan kelautan dan mendorong regulasi perekonomian kelautan, maka diperlukan suatu sistem permodalan yang memberikan kemudahan modal bagi nelayan. Kemudahan modal perlu secepatnya terlaksana karena fenomena yang terjadi sekarang adalah banyaknya nelayan kecil yang meminjam modal pada tengkulak, karena dianggap prosesnya lebih mudah. Tentunya praktek pinjam meminjam modal yang serupa sistem ijon dalam pertanian dan disebut Langgan ini memberikan bunga besar yang akan semakin menjerat masa depan nelayan.
Peningkatan kemampuan terutama nelayan dalam penyediaan permodalan dalam usaha penangkapan ikan, memerlukan keterlibatan sektor keuangan di negara ini, seperti bank, koperasi dan lembaga lembaga peminjam modal lain dengan persyaratan dan bunga yang lunak. Selain itu, perlu dilakukan kerjasama secara adil antara nelayan kecil dan pengusaha besar untuk mendorong keterpaduan dan kesinambungan kegiatan pemberdayaan potensi laut Indonesia.
2.5. Peningkatan Fungsi Departemen Kelautan dan Perikanan
Kunci keberhasilan dalam suatu pembangunan adalah komitmen dan dukungan dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan di negara ini. Komitmen pemerintah untuk mendukung pemberdayaan potensi kelautan dapat dilakukan dengan membuat kebijakan yang berimbang untuk kesejahteraan masyarakat.
Secara kelembagaan Departemen Kelautan dan Perikanan merupakan pelaku kebijakan pemerintah di bidang kelautan dan bertanggung jawab pada sektor ini. Peningkatan fungsi departemen ini dapat dilakukan dengan mengefektifkan seluruh jajarannya, baik yang berada di tingkat pusat maupun daerah. Kemampuan lembaga ini untuk menunjang pemberdayaan potensi bahari Indonesia juga ditunjukkan melalui kerjasama dengan lembaga- lembaga lain yang berkaitan, baik lembaga formal maupun informal. Karena untuk mengembangkan sektor kelautan diperlukan kerjasama dan peran aktif seluruh lembaga yang berkaitan sesuai dengan wewenang dan fungsinya.
2.6 Penguatan Sistem Keamanan dan Pertahanan Laut
Kondisi geografis Indonesia dengan 2/3 lautan memberikan potensi besar untuk kemajuan bangsa sekaligus mengundang ketertarikan masyarakat asing dan negara lain untuk memanfaatkannya. Negara Indonesia yang mempunyai banyak pulau rawan penyelundupan, pencurian sumber daya alam dan sebagainya. Hal ini terbukti dengan bertambah banyak jumlah nelayan asing yang berlayar di perairan Indonesia secara illegal. Berdasarkan perkiraan dari kasus nelayan asing yang ditangkap dan hasil deteksi dari data citra Satelit diperkirakan lebih dari 20 trilyun/tahun kerugian Indonesia terjadi akibat illegal fishing ini (Tarmansyah, 2008). Dirjen Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan mengeluarkan data yang menyebutkan bahwa jumlah kapal-kapal asing yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sekitar 7.000 buah.
Besarnya jumlah pelanggaran di kawasan laut Indonesia terjadi tidak hanya dikarenakan sumber daya alam Indonesia yang sangat menarik bagi bangsa lain, tetapi juga disebabkan oleh rendahnya pemberdayaan dan pengamanan sumber daya alam laut Indonesia. Hal ini terlihat dengan rendahnya kualitas dan kuantitas kekuatan TNI AL sebagai tulang punggung keamanan maritim di Indonesia. TNI AL hanya memiliki jumlah perwira kurang dari 25% jumlah perwira angkatan darat, sedangkan wilayah pengawasan yang harus dilakukan adalah 2/3 dari seluruh wilayah Indonesia. Tidak hanya sumber daya manusia yang masih sedikit, peralatannya pun sudah tidak layak digunakan karena sudah berumur rata-rata 40 tahun (Tarmansyah, 2008).
Pentingnya peningkatan keamanan laut dengan armada laut dan perwira lautnya yang handal telah terbukti dalam sejarah mampu membawa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit menjadi kerajaan yang besar. Kekuatan ini mampu mendorong sektor perekonomian melalui perdagangan dan pada akhirnya membawa kesejahteraan bagi warganya. Kejayaan dimasa lalu ini seharusnya bisa menyadarkan bangsa ini bahwa sektor kelautan merupakan sektor yang penting untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Oleh sebab itu, diperlukan peningkatan keamanan laut dengan armada laut dan perwira laut yang handal sebagai salah satu cara penting untuk memberdayakan potensi bahari Indonesia.
Keberadaan armada laut, baik armada niaga maupun armada perang diperlukan tidak hanya sebagai pertahanan kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia yang lahir sebagai negara merdeka sejak 1945, namun keberadaan armada ini penting untuk melindungi sumber daya alam kelautan. Untuk perlindungan sumber daya alam laut juga diperlukan kinerja yang kuat dan kerja sama antar departemen dan institusi yang terkait sehingga nantinya akan dapat membawa Indonesia menuju bangsa yang berperadaban besar.
III. PENUTUP
Berbagai potensi kebaharian yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan landasan utama dalam membangun peradaban bangsa. Kekayaan alam ini seharusnya membuat kita sadar untuk mulai bergerak mendayagunakan potensi laut dalam segala aspek kehidupan. Dengan terbedayanya berbagai potensi alam laut di negara ini maka dapat membawa Indonesia menjadi negara yang lebih maju, berkualitas, cerdas, dan mampu bersaing dalam percaturan Internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2003. Nasib Pendidikan Anak di Wilayah Pesisir. http://www.coremap.or.id. [ 4 Mei 2008 ].
Anonim, 2007. Laut Nusantara: Sebuah Kolam Megabiodiversity untuk Misi Penyelamatan Bumi. http://www.dkp.go.id. [ 4 Mei 2008 ].
Pujiyati, S. 2001. Pembangunan Perikanan Laut di Indonesia. Makalah falsafah sains. Institut Pertanian Bogor.
Tarmanyah, U. 2008. Strategi Penguatan Penegakan Kedaulatan Wilayah
Negara di Laut dalam Rangka Menghadapi Kejahatan
dan Pelanggaran Wilayah Perairan Nusantara. Buletin Litbang Pertahanan Indonesia.
Pembangunan peradaban suatu bangsa yang mampu menguatkan identitas pribadi dan menjawab tantangan global di masa depan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Pembangunan peradaban memerlukan kerja keras dan kerja sama semua pihak karena tantangan di masa depan menuntut Indonesia untuk bersaing dengan identitas negaranya dan bertekad untuk memenangkannya.
Membangun peradaban suatu bangsa pada hakikatnya adalah pengembangan kharakter dan watak berdasarkan potensi dan ciri khas bangsa tersebut. Ciri khas dan potensi bangsa Indonesia sebagai negara dengan 2/3 wilayahnnya terdiri dari lautan merupakan kekayaan bangsa yang bisa digali dan diberdayakan untuk kelangsungan bangsa di masa depan.
Keberadaan Indonesia sebagai negara dengan 2/3 lautan membuatnya layak disebut sebagai negara maritim. Indonesia juga merupakan negara dengan panjang garis pantai keempat terbesar sedunia yaitu 95.181 km yang memberikan nilai pesona indah untuk kegiatan pariwisata dan olahraga bahari. Selain itu, letaknya yang ditengah-tengah khatulistiwa memungkinkan segala jenis ikan dan biota laut hidup serta berkembang biak dengan cepat. Sedangkan luas terumbu karang Indonesia adalah 12,95 % luas terumbu karang dunia dan merupakan tumpuan organisme laut untuk bertahan hidup (Anonim, 2007). Keindahan dan keragaman sumber daya laut Indonesia sebagai negara maritim merupakan potensi yang perlu dikembangkan untuk kemajuan peradaban bangsa.
Secara geografis Indonesia berada diantara benua Asia dan Australia dan diantara samudera Hindia dan Pasifik sehingga merupakan negara stategis yang dilalui oleh 95% jalur pelayaran Asia Pasifik. Hal ini merupakan kondisi yang strategis untuk pengembangan sektor perekomian Indonesia sehingga akan berdampak majunya tingkat ekonomi Indonesia.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini selain melakukan pemberdayaan potensi kebaharian dan menjadikannya prioritas strategis dalam kebijakan pembangunan nasional. Pemberdayaan potensi kebaharian Indonesia harus dijadikan landasan dan paradigama utama dalam mempercepat pembangunan peradaban bangsa. Dalam pengembangan kebijakan pemberdayaan potensi kebaharian ini diperlukan tindakan yang berorientasi jelas, dinamis, konstruktif, inovatif dengan wawasan jauh ke depan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui peningkatan mutu sumber daya manusia sebagai subjek penggali potensi bahari, penyediaan sarana dan prasarana penunjang kegiatan kelautan, pengembangan penelitian dan teknologi berbasis kebaharian. Selain itu diperlukan kemudahan sistem permodalan bagi usaha kelautan, peningkatan fungsi Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai penanggung jawab langsung kebijakan pemerintah. dan tentunya peningkatan sistem pertahanan dan keamanan laut.
II. ISI
2.1. Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia Indonesia sebagai Subjek Penggali Potensi Bahari.
Manusia merupakan subjek yang terpenting dalam upaya pemberdayaan potensi bahari Indonesia. Upaya yang dilakukan hendaknya dapat membangun manusia Indonesia yang seutuhnya, bermutu dan peduli terhadap potensi bahari Indonesia sehingga dapat membangun peradaban bangsa. Karena hal terberat yang harus dilalui bangsa ini untuk pemberdayaan potensi baharinya adalah menyiapkan sumber daya manusia yang bermutu dan bermoral dalam mengembangkan potensi laut kita sebagai aset dan modal dalam membangun bangsa menjadi sebuah bangsa yang berperadapan serta mampu bersaing di dunia Internasional.
Kencenderungan sikap dan pemahaman yang masih berkembang di masyarakat Indonesia adalah melihat daratan sebagai satu satunya sumber kehidupan. Hal ini bisa terlihat dari jumlah usaha yang bergerak di bidang kelautan masih rendah dibanding usaha lainnya dan jumlah petani yang lebih besar dari nelayan, bahkan bisa dilihat dari jumlah armada laut dan perwira laut yang jumlahnya lebih kecil dibanding darat. Struktur mental dan pengetahuan seperti ini berakibat pada rendahnya partisipasi rakyat dalam upaya memberdayakan potensi laut yang sangat besar di Indonesia.
Kondisi sumber daya manusia di daerah pesisir sebagai komunitas masyarakat yang berlokasi terdekat dengan lautan juga tidak bisa dikatakan bermutu. Berdasarkan data COREMAP Desember 2001 menunjukkan bahwa dari 4 daerah pesisir yang menjadi daerah binaan, masih terdapat penduduk yang tidak bersekolah bahkan salah satu daerah mencapai angka 12%. Rata rata tingkat pendidikan tertinggi penduduknya adalah sekolah menengah atas dan hanya berjumlah 21%. Sedangkan penduduk yang berpendidikan akademi atau universitas masih sangat sedikit dan bahkan ada desa yang tidak mempunyai penduduk dengan tingkat pendidikan ini (Anonim, 2003).
Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan rendahnya daya serap terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga sering menjadi kendala bagi peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi wilayahnya. Seharusnya, untuk mengelola sumberdaya laut yang kaya dibutuhkan sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai bidangnya, karena pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut membutuhkan penerapan teknologi, mulai dari teknologi yang sederhana sampai teknologi yang canggih.
Untuk mengatasi persoalan peningkatan sumber daya manusia perlu dilakukan upaya peningkatan pendidikan berbasis kebaharian. Hal ini bisa dilakukan dengan pengenalan laut secara lebih mendalam di sekolah sekolah dasar. Diberikannya pengenalan, pemahaman, kesadaran, dan kecintaan anak didik sejak dini terhadap laut dapat meningkatkan semangat jiwa bahari demi terwujudnya generasi muda potensial di bidang kelautan yang nyata dan andal secara praktis.
Pemberian muatan lokal bidang kelautan, pada sekolah-sekolah menengah, terutama di daerah pesisir akan mampu mengasah potensi kecerdasan dan ketrampilan manusia-manusia Indonesia. Dibukanya lebih banyak pendidikan tinggi berbasis kelautan akan memperkuat sumber daya manusia di bidang kelautan. Selain itu, perlu dilakukan peningkatan program pelatihan dan ketrampilan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya laut. Dengan diterapkannya pendidikan serta ketrampilan yang ada diharapkan kedepannya mereka mampu mengelola kekayaan alam laut Indonesia secara handal, efektif dan bermoral, sebagai implikasi dan tuntutan era milenium baru yang terbentang luas di depan.
Pemerataan pendidikan yang berkualitas disemua daerah di Indonesia termasuk daerah daerah pesisir akan membantu terbentuknya sumber daya manusia handal pembangun peradaban bangsa ini. Sekolah sekolah di daerah pesisir seharusnya mendapatkan fasilitas standar untuk menunjang berjalannya kegiatan belajar mengajar. Memberikan fasilitas dan peningkatan mutu pendidikan melalui proses pengajaran serta peran optimal pengajar di semua jenjang pendidikan yang ada dapat mendorong pemberdayaan sektor kelautan yang menjadi landasan pembangunan peradaban bangsa.
Peningkatan pembinaan tersebut harus dilakukan secara terpadu dengan partisipasi aktif masyarakat, pemerintah dan sektor swasta. Rasa tanggung jawab dan kebersamaan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya perlu ditingkatkan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sehingga kedepannya pelaksanaan proses pendidikan di semua jenjang harus dapat mengembangkan kemauan belajar, meningkatkan kreativitas dan inovasi baru, memperdalam dan memperluas pemahaman ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasiskan kebaharian.
2.2. Tersedianya Sarana dan Prasarana Penunjang Kelautan
Dalam upaya pemberdayaan potensi kelautan Indonesia, pembangunan sarana dan prasarana penunjang kegiatan kelautan sangat diperlukan. Tersedianya sarana dan prasarana yang memadai dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, khususnya di sektor kelautan. Minimnya sarana dan prasarana kelautan akan berakibat rendahnya kegiatan eksplorasi laut maupun penelitian kelautan.
Pembangunan sarana dan prasarana di bidang perikanan yang sangat dibutuhkan misalnya pelabuhan perikanan atau tempat pendaratan ikan. Pelabuhan perikanan dan juga tempat pendaratan ikan merupakan pusat pengembangan masyarakat nelayan dan pertumbuhan ekonomi perikanan, pengembangan agribisnis dan agroindustri perikanan. Pusat pelayanan tambat labuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil tangkapan dan hasil budidayaan, tempat pelayanan kegiatan operasi kapal-kapal perikanan, pusat pemasaran dan distribusi perikanan, tempat pengembangan usaha industi perikanan dan pelayan eksport, tempat pelaksanaan pengawasan, penyuluhan dan pengumpulan data. Mengingat fungsi pelabuhan perikanan sangat luas dan memiliki kekhususan, maka keberadaan pelabuhan perikanan harus merupakan wilayah kerja tersendiri dan tidak dapat disatukan dengan pelabuhan umum (Pujiyati, 2001).
Dengan dibangunnya sarana dan prasarana penunjang kelautan yang representatif dan merata disemua wilayah Indonesia berdampak pada peningkatan pemberdayaan potensi bahari. Namun yang perlu diingat adalah pembangunan sarana dan prasarana tersebut harus dilakukan secara transparan, sesuai prosedur yang ada dan berbasiskan kebutuhan.
2.3 Pengembangan Penelitian dan Teknologi Berbasis Kebaharian
Pemberdayaan potensi kebaharian Indonesia untuk membangun peradaban bangsa perlu dipacu melalui berbagai pengembangan penelitian dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peran pengembangan ilmu pengetahun dan teknologi sangat diperlukan karena wilayah laut Indonesia serta kekayaan laut didalamnya sangat besar, sehingga teknologi tradisional tidaklah cukup untuk mendukung pemberdayaannya.
Penguatan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan Indonesia di setiap jenjang sekolah dan pengkajian dalam litbang kelautan di perguruan tinggi akan mampu mendorong pengusahaan sumber daya alam laut Indonesia ditangan putra-putri bangsa. Dengan peralatan yang lebih modern, baik dalam hal armada penangkapan ikan, teknologi pemantauan, teknologi eksplorasi, teknologi pengolahan, teknologi pemetaan laut, serta teknologi pasca panen, kekayaan alam laut Indonesia bisa dimanfaatkan untuk kemakmuran bangsa Indonesia dan tidak dicuri bangsa lain.
Pengembangan ini dapat dilakukan secara bersama-sama antara instansi pemerintah, perguruan tinggi maupun pihak swasta yang bergerak dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan secara menyeluruh. Kerjasama semua pihak ini akan mampu mendorong pemberdayaan potensi bahari Indonesia sebagai landasan peradaban bangsa dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
2.4. Kemudahan Modal Usaha di Bidang Kelautan
Untuk meningkatkan berbagai kegiatan kelautan dan mendorong regulasi perekonomian kelautan, maka diperlukan suatu sistem permodalan yang memberikan kemudahan modal bagi nelayan. Kemudahan modal perlu secepatnya terlaksana karena fenomena yang terjadi sekarang adalah banyaknya nelayan kecil yang meminjam modal pada tengkulak, karena dianggap prosesnya lebih mudah. Tentunya praktek pinjam meminjam modal yang serupa sistem ijon dalam pertanian dan disebut Langgan ini memberikan bunga besar yang akan semakin menjerat masa depan nelayan.
Peningkatan kemampuan terutama nelayan dalam penyediaan permodalan dalam usaha penangkapan ikan, memerlukan keterlibatan sektor keuangan di negara ini, seperti bank, koperasi dan lembaga lembaga peminjam modal lain dengan persyaratan dan bunga yang lunak. Selain itu, perlu dilakukan kerjasama secara adil antara nelayan kecil dan pengusaha besar untuk mendorong keterpaduan dan kesinambungan kegiatan pemberdayaan potensi laut Indonesia.
2.5. Peningkatan Fungsi Departemen Kelautan dan Perikanan
Kunci keberhasilan dalam suatu pembangunan adalah komitmen dan dukungan dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan di negara ini. Komitmen pemerintah untuk mendukung pemberdayaan potensi kelautan dapat dilakukan dengan membuat kebijakan yang berimbang untuk kesejahteraan masyarakat.
Secara kelembagaan Departemen Kelautan dan Perikanan merupakan pelaku kebijakan pemerintah di bidang kelautan dan bertanggung jawab pada sektor ini. Peningkatan fungsi departemen ini dapat dilakukan dengan mengefektifkan seluruh jajarannya, baik yang berada di tingkat pusat maupun daerah. Kemampuan lembaga ini untuk menunjang pemberdayaan potensi bahari Indonesia juga ditunjukkan melalui kerjasama dengan lembaga- lembaga lain yang berkaitan, baik lembaga formal maupun informal. Karena untuk mengembangkan sektor kelautan diperlukan kerjasama dan peran aktif seluruh lembaga yang berkaitan sesuai dengan wewenang dan fungsinya.
2.6 Penguatan Sistem Keamanan dan Pertahanan Laut
Kondisi geografis Indonesia dengan 2/3 lautan memberikan potensi besar untuk kemajuan bangsa sekaligus mengundang ketertarikan masyarakat asing dan negara lain untuk memanfaatkannya. Negara Indonesia yang mempunyai banyak pulau rawan penyelundupan, pencurian sumber daya alam dan sebagainya. Hal ini terbukti dengan bertambah banyak jumlah nelayan asing yang berlayar di perairan Indonesia secara illegal. Berdasarkan perkiraan dari kasus nelayan asing yang ditangkap dan hasil deteksi dari data citra Satelit diperkirakan lebih dari 20 trilyun/tahun kerugian Indonesia terjadi akibat illegal fishing ini (Tarmansyah, 2008). Dirjen Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan mengeluarkan data yang menyebutkan bahwa jumlah kapal-kapal asing yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sekitar 7.000 buah.
Besarnya jumlah pelanggaran di kawasan laut Indonesia terjadi tidak hanya dikarenakan sumber daya alam Indonesia yang sangat menarik bagi bangsa lain, tetapi juga disebabkan oleh rendahnya pemberdayaan dan pengamanan sumber daya alam laut Indonesia. Hal ini terlihat dengan rendahnya kualitas dan kuantitas kekuatan TNI AL sebagai tulang punggung keamanan maritim di Indonesia. TNI AL hanya memiliki jumlah perwira kurang dari 25% jumlah perwira angkatan darat, sedangkan wilayah pengawasan yang harus dilakukan adalah 2/3 dari seluruh wilayah Indonesia. Tidak hanya sumber daya manusia yang masih sedikit, peralatannya pun sudah tidak layak digunakan karena sudah berumur rata-rata 40 tahun (Tarmansyah, 2008).
Pentingnya peningkatan keamanan laut dengan armada laut dan perwira lautnya yang handal telah terbukti dalam sejarah mampu membawa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit menjadi kerajaan yang besar. Kekuatan ini mampu mendorong sektor perekonomian melalui perdagangan dan pada akhirnya membawa kesejahteraan bagi warganya. Kejayaan dimasa lalu ini seharusnya bisa menyadarkan bangsa ini bahwa sektor kelautan merupakan sektor yang penting untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Oleh sebab itu, diperlukan peningkatan keamanan laut dengan armada laut dan perwira laut yang handal sebagai salah satu cara penting untuk memberdayakan potensi bahari Indonesia.
Keberadaan armada laut, baik armada niaga maupun armada perang diperlukan tidak hanya sebagai pertahanan kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia yang lahir sebagai negara merdeka sejak 1945, namun keberadaan armada ini penting untuk melindungi sumber daya alam kelautan. Untuk perlindungan sumber daya alam laut juga diperlukan kinerja yang kuat dan kerja sama antar departemen dan institusi yang terkait sehingga nantinya akan dapat membawa Indonesia menuju bangsa yang berperadaban besar.
III. PENUTUP
Berbagai potensi kebaharian yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan landasan utama dalam membangun peradaban bangsa. Kekayaan alam ini seharusnya membuat kita sadar untuk mulai bergerak mendayagunakan potensi laut dalam segala aspek kehidupan. Dengan terbedayanya berbagai potensi alam laut di negara ini maka dapat membawa Indonesia menjadi negara yang lebih maju, berkualitas, cerdas, dan mampu bersaing dalam percaturan Internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2003. Nasib Pendidikan Anak di Wilayah Pesisir. http://www.coremap.or.id. [ 4 Mei 2008 ].
Anonim, 2007. Laut Nusantara: Sebuah Kolam Megabiodiversity untuk Misi Penyelamatan Bumi. http://www.dkp.go.id. [ 4 Mei 2008 ].
Pujiyati, S. 2001. Pembangunan Perikanan Laut di Indonesia. Makalah falsafah sains. Institut Pertanian Bogor.
Tarmanyah, U. 2008. Strategi Penguatan Penegakan Kedaulatan Wilayah
Negara di Laut dalam Rangka Menghadapi Kejahatan
dan Pelanggaran Wilayah Perairan Nusantara. Buletin Litbang Pertahanan Indonesia.
Jumat, 03 Juni 2011
TES PERKUSI PADA PROSEDUR DIAGNOSIS PERAWATAN GIGI
1. PENDAHULUAN
Perawatan yang tepat dimulai dengan diagnosis yang tepat. Diagnosis yang tepat memerlukan ilmu pengetahuan penyakit serta gejala-gejalanya, ketrampilan untuk melakukan cara menguji yang tepat dan seni menyatakan impresi, fakta dan pengalaman ke dalam pengertian (Grossman, dkk., 1995:1).
Pemeriksaan rutin harus dilakukan oleh klinisi untuk menghindari informasi yang tidak relevan dan mencegah kesalahan akibat kelalaian dalam pemeriksaan klinis. Rangkaian pemeriksaan harus dicatat dalam kartu pasien dan harus dijadikan sebagai petunjuk untuk melakukan kebiasaan diagnosis yang tepat (Grossman dkk, 1995 :1).
Pemeriksaan pasien secara garis besar meliputi:
1.1 Pemeriksaan subyektif, yang terdiri dari
a. Keluhan utama
Keluhan utama yaitu gejala atau masalah yang dirasakan pasien dalam bahasanya sendiri berkaitan dengan kondisi yang membuatnya datang mencari perawatan (Walton dan Torabinejad, 1998 : 72).
b. Riwayat medis
Riwayat medis yang lengkap dan teliti tidak hanya membantu menegakkan diagnosa tetapi juga menyediakan informasi mengenai kerentanan dan reaksi pasien terhadap infeksi, hal-hal mengenai pendarahan, obat-obat yang telah diberikan dan status emosionalnya (Walton dan Torabinejad, 1998 : 73).
1.2 Pemeriksaan obyektif yang terdiri dari
a. Pemeriksaan ekstraoral
Penampilan umum, tonus otot, asimetri fasial, pembengkakan, perubahan warna, kemerahan, jaringan parut ekstraoral, saluran sinus dan kepekaan atau nodus jaringan limfe servikal atau fasial yang membesar merupakan indikator status fisik pasien (Walton dan Torabinejad, 1998 :77).
b. Pemeriksaan intraoral
- Jaringan lunak, yang meliputi tes fisual dan digital jaringan lunak rongga mulut yang lengkap dan teliti
- Gigi geligi, yang diperiksa untuk mengetahui adanya perubahan warna, fraktur, abrasi, erosi, karies, restorasi yang luas atau abnormalitas lainnya (Walton dan Torabinejad, 1998 : 77).
Pemeriksaan obyektif dilakukan dengan pengujian dan observasi secara baik yaitu sebagai berikut :
- Pemeriksaan visual dan taktil
Pemeriksaan ini merupakan uji klinis paling sederhana yang didasarkan pada penglihatan dan perabaan.
- Palapasi
Tes ini dilakukan dengan ujung jari menggunakan tekanan ringan untuk memeriksa konsistensi jaringan dan respon rasa sakit
- Tes mobilitas
Tes ini digunakan untuk mengevaluasi integritas attachment apparatus di sekeliling gigi
- Uji pulpa dengan metode uji listrik, uji termal (panas dan dingin), uji anastetik dan uji kavitas
- Radiografik
Radiografik memungkinkan pemeriksaan visual struktur mulut yang tidak mungkin dapat dilihat dengan mata telanjang.
(Grossman, dkk , 1995:4-19)
- Perkusi
Uji ini digunakan untuk mengevaluasi status periodonsium sekitar gigi (Grossman, dkk. ,1995:4-19 dan Ghom, 2007:61) dan apikal gigi (Barrat dan Pool : 2008:551). Terdapat dua metode perkusi yaitu: tes perkusi vertikal dan tes perkusi horizontal. Jika tes perkusi vertikal positif berarti terdapat kelainan di daerah periapikal, dan jika tes perkusi horizontal positif berarti terdapat kelainan di periodonsium (Ghom ,2007:61).
Tes perkusi dilakukan dengan cara sebagai berikut ini.
• Pukulan cepat dan tidak keras pada gigi, mula-mula memakai jari dengan intensitas rendah kemudian intensitas ditingkatkan dengan menggunakan tangkai suatu instrumen, untuk mengetahui apakah gigi terasa sakit (Grosman dkk.,1995 :6 ; Ghom, 2007:6 ; Barrat dan Pool, 2008:551 )
• Gigi tetangga sebaiknya di perkusi lebih dahulu dan kemudian diikuti gigi yang menjadi keluhan
• Reaksi yang lebih valid didapat dari pergerakan tubuh pasien, reaksi reflek, bahkan reaksi yang tidak bisa dikatakan (Ghom, 2007 : 6).
Nilai diagnostik pada pemeriksaan perkusi adalah untuk mengetahui apakah daerah atau jaringan apikal gigi mengalami inflamasi. Tes ini tidak menunjukkan pulpa dalam keadaan vital atau nekrosis. Pada kasus gigi yang vital, iritasi dapat terjadi oleh karena penempatan restorasi dan bruxism, dimana kondisi ini menyebabakan iritasi pada ligamen periodontal. Pada kasus gigi yang nekrosis jaringan nekrotik yang banyak didalam gigi akan terdorong keluar melewati foramen periapikal menuju jaringan dibawah gigi yang menyebabkan rasa sakit (Barrat dan Pool, 2008:551). Perbedaan yang ada pada nyeri yang disebabkan oleh inflamasi periodonsium besar kemungkinan berada dalam kisaran ringan sampai moderat. Inflamasi periapikal merupakan kasus yang mungkin terjadi jika nyeri sangat tajam dan menyebabkan respon penolakan (Walton dan Torabinejad, 1998:79)
A B
Gambar A. Tes perkusi yang dilakukan arah vertikal, B. Tes perkusi yang dilakukan arah horizontal
DAFTAR PUSTAKA
Barrat, M.R. dan Pool, S.L. 2008. Principle of Clinical Medicine for Space Flight. New York: Springer.
Ghom, A.G. 2007. Text Book of Oral Medicine. New Delhi :Jaypee Brothers Publisher.
Grosssman, L.I., dkk. 1995. Ilmu Endodontik dalam Praktek Ed:11.Alih Bahasa: Rafiah Abyono. Jakarta : EGC.
Walton, R.E. dan Torabinejad M. 1998. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsi Ed:2. Alih Bahasa : Narlan Sumawinata dkk. “Principle and Practice of Endodontics”. Jakarata : EGC.
Perawatan yang tepat dimulai dengan diagnosis yang tepat. Diagnosis yang tepat memerlukan ilmu pengetahuan penyakit serta gejala-gejalanya, ketrampilan untuk melakukan cara menguji yang tepat dan seni menyatakan impresi, fakta dan pengalaman ke dalam pengertian (Grossman, dkk., 1995:1).
Pemeriksaan rutin harus dilakukan oleh klinisi untuk menghindari informasi yang tidak relevan dan mencegah kesalahan akibat kelalaian dalam pemeriksaan klinis. Rangkaian pemeriksaan harus dicatat dalam kartu pasien dan harus dijadikan sebagai petunjuk untuk melakukan kebiasaan diagnosis yang tepat (Grossman dkk, 1995 :1).
Pemeriksaan pasien secara garis besar meliputi:
1.1 Pemeriksaan subyektif, yang terdiri dari
a. Keluhan utama
Keluhan utama yaitu gejala atau masalah yang dirasakan pasien dalam bahasanya sendiri berkaitan dengan kondisi yang membuatnya datang mencari perawatan (Walton dan Torabinejad, 1998 : 72).
b. Riwayat medis
Riwayat medis yang lengkap dan teliti tidak hanya membantu menegakkan diagnosa tetapi juga menyediakan informasi mengenai kerentanan dan reaksi pasien terhadap infeksi, hal-hal mengenai pendarahan, obat-obat yang telah diberikan dan status emosionalnya (Walton dan Torabinejad, 1998 : 73).
1.2 Pemeriksaan obyektif yang terdiri dari
a. Pemeriksaan ekstraoral
Penampilan umum, tonus otot, asimetri fasial, pembengkakan, perubahan warna, kemerahan, jaringan parut ekstraoral, saluran sinus dan kepekaan atau nodus jaringan limfe servikal atau fasial yang membesar merupakan indikator status fisik pasien (Walton dan Torabinejad, 1998 :77).
b. Pemeriksaan intraoral
- Jaringan lunak, yang meliputi tes fisual dan digital jaringan lunak rongga mulut yang lengkap dan teliti
- Gigi geligi, yang diperiksa untuk mengetahui adanya perubahan warna, fraktur, abrasi, erosi, karies, restorasi yang luas atau abnormalitas lainnya (Walton dan Torabinejad, 1998 : 77).
Pemeriksaan obyektif dilakukan dengan pengujian dan observasi secara baik yaitu sebagai berikut :
- Pemeriksaan visual dan taktil
Pemeriksaan ini merupakan uji klinis paling sederhana yang didasarkan pada penglihatan dan perabaan.
- Palapasi
Tes ini dilakukan dengan ujung jari menggunakan tekanan ringan untuk memeriksa konsistensi jaringan dan respon rasa sakit
- Tes mobilitas
Tes ini digunakan untuk mengevaluasi integritas attachment apparatus di sekeliling gigi
- Uji pulpa dengan metode uji listrik, uji termal (panas dan dingin), uji anastetik dan uji kavitas
- Radiografik
Radiografik memungkinkan pemeriksaan visual struktur mulut yang tidak mungkin dapat dilihat dengan mata telanjang.
(Grossman, dkk , 1995:4-19)
- Perkusi
Uji ini digunakan untuk mengevaluasi status periodonsium sekitar gigi (Grossman, dkk. ,1995:4-19 dan Ghom, 2007:61) dan apikal gigi (Barrat dan Pool : 2008:551). Terdapat dua metode perkusi yaitu: tes perkusi vertikal dan tes perkusi horizontal. Jika tes perkusi vertikal positif berarti terdapat kelainan di daerah periapikal, dan jika tes perkusi horizontal positif berarti terdapat kelainan di periodonsium (Ghom ,2007:61).
Tes perkusi dilakukan dengan cara sebagai berikut ini.
• Pukulan cepat dan tidak keras pada gigi, mula-mula memakai jari dengan intensitas rendah kemudian intensitas ditingkatkan dengan menggunakan tangkai suatu instrumen, untuk mengetahui apakah gigi terasa sakit (Grosman dkk.,1995 :6 ; Ghom, 2007:6 ; Barrat dan Pool, 2008:551 )
• Gigi tetangga sebaiknya di perkusi lebih dahulu dan kemudian diikuti gigi yang menjadi keluhan
• Reaksi yang lebih valid didapat dari pergerakan tubuh pasien, reaksi reflek, bahkan reaksi yang tidak bisa dikatakan (Ghom, 2007 : 6).
Nilai diagnostik pada pemeriksaan perkusi adalah untuk mengetahui apakah daerah atau jaringan apikal gigi mengalami inflamasi. Tes ini tidak menunjukkan pulpa dalam keadaan vital atau nekrosis. Pada kasus gigi yang vital, iritasi dapat terjadi oleh karena penempatan restorasi dan bruxism, dimana kondisi ini menyebabakan iritasi pada ligamen periodontal. Pada kasus gigi yang nekrosis jaringan nekrotik yang banyak didalam gigi akan terdorong keluar melewati foramen periapikal menuju jaringan dibawah gigi yang menyebabkan rasa sakit (Barrat dan Pool, 2008:551). Perbedaan yang ada pada nyeri yang disebabkan oleh inflamasi periodonsium besar kemungkinan berada dalam kisaran ringan sampai moderat. Inflamasi periapikal merupakan kasus yang mungkin terjadi jika nyeri sangat tajam dan menyebabkan respon penolakan (Walton dan Torabinejad, 1998:79)
A B
Gambar A. Tes perkusi yang dilakukan arah vertikal, B. Tes perkusi yang dilakukan arah horizontal
DAFTAR PUSTAKA
Barrat, M.R. dan Pool, S.L. 2008. Principle of Clinical Medicine for Space Flight. New York: Springer.
Ghom, A.G. 2007. Text Book of Oral Medicine. New Delhi :Jaypee Brothers Publisher.
Grosssman, L.I., dkk. 1995. Ilmu Endodontik dalam Praktek Ed:11.Alih Bahasa: Rafiah Abyono. Jakarta : EGC.
Walton, R.E. dan Torabinejad M. 1998. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsi Ed:2. Alih Bahasa : Narlan Sumawinata dkk. “Principle and Practice of Endodontics”. Jakarata : EGC.
Langganan:
Postingan (Atom)